Hal ini dikatakan Aliisa Wahid terkait dengan munculnya fenomena diskontinuitas generasi saat ini terhadap nilai dan norma tentang masa lalu harus disikapi secara serius, apalagi jika hal tersebut kemudian dapat menyebabkan lunturnya nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa.
"Ini kesalahan kita, dahulu pada masa Orde Baru penanaman wawasan kebangsaan itu lebih pada hafalan untuk mengingat,” ujar Alissa Wahid, dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
. Tetapi sekarang dengan adanya media sosial (medsos), penanaman wawasan kebangsaan harus disertai contoh di kehidupan sehari-hari, tanpa contoh itu akan menimbulkan kegamangan di kalangan masyarakat. Hal inilah kemudian membuat anak-anak muda mudah menyerap ideologi-ideologi lain dari medsos
Menurut Alissa, untuk mengatasi ideologi selain Pancasila perlu pendekatan sesuai dengan tingkatannya, pertama, terorisme ini sudah pasti masuk ekstremisme dengan kekerasan, itu jelas sangat membahayakan.
Baca juga: Alissa sampaikan pesan Gus Dur jaga kebhinekaan
Kedua, lanjutnya, esktrimisme tanpa kekerasan yang bertujuan mengubah ideologi negara dan ketiga, ekslusifitas agama dan ultra-konservatifisme yang bisa membahayakan demokrasi meskipun tidak menggunakan cara-cara kekerasan.
"Untuk mengatasi ketiga hal ini diperlukan treatment yang berbeda sesuai dengan kondisinya,” tutur putri pertama presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Sebenarnya, kata Alissa, paham ini bukan hal baru atau berasal dari luar. Akan tetapi, kemudian menjadi muncul dan berbahaya karena interpretasi agamanya yang sempit.
Ia mencontoh al wala wal bara’. Itu tidak boleh berteman dengan yang berbeda, padahal negara ini penuh keberagaman. Hal-hal seperti ini yang saat ini diarus-utamakan atau didorong oleh beberapa kelompok keagamaan tertentu hingga menimbulkan perpecahan.
"Wawasan kebangsaan kita justru tidak kita dorong,” kata ucap peraih gelar master bidang psikologi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan sebagai warga negara dan juga sebagai umat beragama, seperti di NU, mengenal trilogi ukhuwah, bahwa sebagai umat Islam harus berperilaku sehari-hari dengan tiga ukhuwah yaitu ukhuwah islamiah, ukhuwah wathaniah, dan ukhuwah basariah.
Baca juga: Alissa Wahid: Jangan mau diadu domba kepentingan penguasa
Intinya beragama tetapi dengan tetap menjunjung keberagaman. Hal ini karena yang dihadapi saat ini adalah pemuka agama yang menggunakan agama untuk mengikis rasa kebangsaan. Maka, kemudian yang perlu diajak kerjasama pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat.
Wanita yang juga rajin mempromosikan dialog dan pemahaman antaragama, kewarganegaraan aktif, demokrasi dan hak asasi manusia ini berpendapat bahwa penting untuk turut serta melibatkan berbagai pihak untuk mengatasi hal ini.
Menurut dia, ada tujuh kelompok strategis yang penting untuk dilibatkan. Satu yaitu birokrasi, kedua TNI/Polri, ketiga media massa, keempat ekosistem pendidikan, kelima masyarakat sipil, termasuk di dalamnya organisasi berbasis agama, keenam sektor privat dan para pelaku bisnis, ketujuh adalah Partai Politik (Parpol).
Khusus parpol ini penting karena dalam pemilihan langsung terhadap posisi-posisi di pemerintahan baik pusat dan daerah, sentimen agama ini berbahaya jika kemudian dipakai dalam kontestasi politik.
"Jadi, partai politik melalui parlemen perlu membangun regulasi untuk mengatur itu sehingga tidak ada nantinya politisi yang menggunakan sentimen agama untuk menarik simpati publik," katannya.
Alissa menyampaikan bahwa saat ini dirinya dan kelompok Gus Durian ikut berperan aktif untuk mengatasi isu-isu kebangsaan di Tanah Air.
"Di Gus Durian, kami berbasis nilai-nilai yang diteladankan oleh Gus Dur," katanya.
Pertama spiritualitas, kedua kemanusiaan, ketiga keadilan. Jadi, ketika pihaknya menyikapi isu-isu kebangsaan, landasannya adalah tiga hal ini.
Baca juga: Alissa Wahid: tidak perlu mendikotomikan pribumi nonpribumi
Ia menggatakan bahwa pihaknya juga terus-menerus melakukan kampanye keberagaman dan kebersatuan. Saat ini Gus Durian juga sedang mengembangkan modul parenting untuk keluarga dalam mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.
"Jadi, kami ingin para orang tua bisa melakukan deteksi dini, lalu memberi pembekalan kepada anak-anaknya agar tidak terpapar,” kata Koordinator Nasional GUSDURian Network Indonesia ini.
Selain itu, Alissa juga menyampaikan pentingnya peran pemerintah pemerintah, khususnya BNPT sebagai garda depan mengatasi isu radikal terorisme ini.
Menurut dia, pemerintah harus memiliki strategi nasional dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Tugas BNPT memastikan muatan-muatan yang dibawa oleh berbagai elemen masyarakat yang bergerak bersama ini adalah muatan yang tepat. Jadi, bukan hanya seminar atau event tertentu, melainkan benar-benar berhadapan dengan situasi di akar rumputnya.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019