Menurut dia, seharusnya pemerintah melakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya kasus yang sama.
"Menurut saya ini satu kejadian yang terus berulang, dan kami sangat prihatin kenapa kejadian penyanderaan ini berulang terus," kata Fadli di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Fadli lantas bertanya, "Kenapa tidak ada upaya preventif dari pemerintah untuk mencegah WNI dan kapal-kapal berbendera Indonesia berada di wilayah perairan rawan disandera Abu Sayyaf?"
Baca juga: Cegah penyanderaan berulang Polri dorong kesepakatan dengan Filipina
Baca juga: Indonesia minta Filipina bantu bebaskan tiga WNI disandera Abu Sayyaf
Dia menilai seharusnya ada cara-cara pencegahan. Karena sudah terjadi kasus penyanderaan, Indonesia harus negosiasi dengan otoritas setempat, yaitu pemerintah Filipina dan pihak-pihak yang mempunyai kontak dengan pihak Abu Sayyaf.
"Apalagi kelompok ini orientasinya ransum, mendapatkan uang. Saya kira kita juga tidak mau diperlakukan seperti itu oleh kelompok Abu Sayyaf," ujarnya.
Fadli mencontohkan dahulu Indonesia punya kontak yang baik dengan pihak Filipina, yaitu Kivlan Zen berhasil ikut membebaskan beberapa kasus penculikan WNI oleh Abu Sayyaf.
Hal itu, menurut dia, karena Kivlan Zen pernah bertugas di Filipina sebagai observer dalam perdamaian antara Front Nasional Pembebasan Moro (MNLF) dan Unforces of the Phillipines.
Baca juga: Nelayan disandera Abu Sayyaf, Menlu minta Filipina intensif membantu
Baca juga: Indonesia terus berupaya bebaskan tiga WNI disandera Abu Sayyaf
"Saya sendiri dahulu pernah kurang lebih 1 bulan di wilayah itu, pada tahun 1994 sampai dengan1995, waktu saya masih mahasiswa untuk menjadi observer," katanya.
Ia menilai MNLF bisa diminta bantuan untuk membebaskan WNI yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf, seperti di wilayah Sulu Island, Holo, Isabella, dan Tawe-tawe.
Sebelumnya, kelompok Abu Sayyaf menculik tiga nelayan asal Indonesia dari perairan dekat Lahad Datu, Sabah, Malaysia, kemudian membawa mereka ke Filipina.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019