Hampir sebagian besar wilayah pegunungan di barat Pulau Sumbawa itu, peruntukannya telah berubah menjadi lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI).
Tak tampak lagi pepohonan besar menjulang tinggi dan burung-burung serta hewan liar lainnya hidup asri di tempat itu.
Ekosistem hutan telah berganti dengan lubang-lubang tambang menganga yang ditutupi terpal-terpal beraneka ragam warna yang terpasang di atas bukit-bukit dan gunung-gunung.
Terpal-terpal ini dipasang bukan untuk berjualan seperti pada umumnya dilakukan pedagang kaki lima (PKL) yang sering kita lihat dipinggir jalan. Melainkan, terpal tersebut berfungsi sebagai penanda ada lubang tambang.
Selain penanda lubang, terpal-terpal ini juga berfungsi sebagai penutup bagi para penunggu lubang dari teriknya sinar matarahari maupun air hujan.
Aktivitas PETI di Sumbawa Barat, sudah dimulai tahun 2010, sejak warga di daerah itu kedatangan para penambang yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat dan Manado Sulawesi Utara.
Oleh warga setempat mereka ini disebut sebagai teknisi. Karena dari merekalah warga setempat mengetahui batuan mana yang bernilai dan harus diambil untuk kemudian nantinya diolah dan diambil bijih emasnya.
Sebelum pindah ke KSB, teknisi yang berasal dari Tasikmalaya dan Manado ini, beraktivitas di tambang-tambang emas liar di daerah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat dan Lape Kabupaten Sumbawa. Namun, seiring waktu dan redupnya tambang di Sekotong dan Lape, mereka pun akhirnya bermigrasi mencari tempat-tempat baru, salah satunya di KSB.
Mereka inilah yang kemudian memperkenalkan bahwa di Sumbawa Barat banyak menyimpan bijih emas kepada warga setempat. Bermodalkan peta dan keahlian cara menggali serta membuat lubang tambang.
Masyarakat yang tadinya awam soal penambangan emas, akhirnya ikut tergiur untuk beralih profesi dari petani menjadi penambang emas. Ya, karena secara materi jauh lebih menjanjikan dari menjadi seorang petani.
Namun, sayangnya kawasan yang digunakan para penambang liar untuk menggali lubang di KSB ini, merupakan Sumbawa Mining Mineral yang berafiliasi dengan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Contohnya di Desa Lamunga, Kecamatan Taliwang dan Gunung Tongo Loka, Desa Tatar Kecamatan Sekongkang.
Dampak Ekonomi
Di Desa Lamunga, puluhan hingga ratusan kepala keluarga (KK) di tempat itu sudah beralih profesi sebagai penambang liar. Mirisnya, aktivitas ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan anak-anak seusia sekolah dasar (SD) juga ikut.
Khusus untuk anak-anak tugas mereka sebatas membantu para orang tua memecahkan batuan yang telah diambil dari lubang tambang. Hal yang sama dilakukan kaum ibu-ibu di tempat itu, mereka terlibat karena ikut membantu pekerjaan suami.
Untuk memecah batuan hasil galian tambang, alat yang digunakan para penambang ini cukup sederhana, yakni martil atau palu dan penahan batu yang terbuat dari karet ban bekas yang telah diberi gagang dari kayu.
Untuk satu karung batuan yang telah dipecah mereka dibayar Rp10 ribu. Itupun, dalam sehari mereka hanya mampu memecah batuan hingga kecil-kecil antara dua atau tiga karung.
Sedangkan, bagi kaum laki-lakinya ada yang bertugas sebagai penambang dan pemikul batuan yang telah digali. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai tukang ojek.
Di KSB, para pengojek galian tambang ini menerima upah bervariasi tergantung jarak jauhnya tempat mengambil batuan. Di Desa Lamunga para pengojek ini dibayar Rp50 ribu per karung. Sementara, Lamontet Rp100 ribu per karung serta Jereweh dan Sekongkang Rp150 ribu per karung.
Sementara, bagi yang memiliki modal mereka biasanya akan menjadi pemilik lubang. Satu lubang berisikan delapan penambang. Nanti para pemodal inilah yang membiayai seluruh penambangan. Tak tanggung-tanggung untuk satu lubang para pemilik lubang harus merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah.
Untuk persentase pembagian, antara pemilik lubang dengan penambang itu 70 persen pemilik lubang dan 30 persen penambang. Namun, tidak semua lubang memperoleh hasil yang memuaskan. Karena hasil yang didapat tidak sebanding dengan biaya operasional yang telah dikeluarkan.
Meski demikian, perputaran mata uang hasil penambangan liar di KSB ini ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Salah seorang penambang yang juga memiliki lubang tambang, Hamdi mengatakan, untuk membuat satu lubang tambang dirinya membutuhkan modal hingga Rp100 juta.
Saat ini dirinya memiliki enam lubang tambang, sehingga jika dikalikan dengan jumlah lubang tambang yang dimilikinya, dia sudah mengeluarkan biaya hingga mencapai Rp600 juta.
Itu belum biaya operasional untuk para pekerja tambang yang ada di dalam lubang. Karena paling banyak habis ini untuk makan, minum dan rokok.
Diakuinya, meski sudah mengeluarkan modal besar hingga ratusan juta. Namun, kadang kala hasil yang diperoleh dari satu lubang tambang tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional menggali lubang tambang.
Pernah dapatnya 5 gram per karung. Satu karung 16 karat. Sedangkan jumlah penambang di satu lubang 13 orang dibagi 8 yang masuk dalam satu lubang. Hasilnya 30 persen pekerja dan 60 pemilik.
Hal senada juga diutarakan salah satu pemilik lubang tambang, Tagor. Ia mengaku, memiliki dua lubang tambang.
Untuk dua lubang tersebut, modal yang harus dikeluarkan untuk membuat lubang tersebut sama seperti penambang lainnya. Mulai dari Rp100 juta hingga ratusan juga.
Kalau harga emas yang sudah diproses kita jual harganya fluktuatif juga ada Rp450 ribu hingga Rp800 ribuan tergantung karat emasnya.
Kata Tagor, saking menguntungkannya menjadi penambang mereka tidak kesulitan membangun rumah. Bahkan setelah gempa bumi yang terjadi pada tahun 2018, rumah-rumah warga yang tadinya hancur rata dengan tanah. Namun dalam sekejap dapat terbangun kembali tanpa bantuan pemerintah.
Alhamdulillah tanpa menunggu bantuan rumah kita bisa bangun kembali. Semua uangnya dari hasil tambang. Kalau dari hasil bertani mungkin belum tentu.
Disamping itu, mereka juga mampu menghidupi keluarga dan membiayai anak sekolah. Bahkan, mereka juga bisa membeli perabotan rumah hingga kendaraan. Sesuatu yang sulit jika mereka masih bertahan sebagai petani.
Menurut Tagor, aktivitas PETI di wilayah tersebut muncul pada tahun 2010, setelah kehadiran para penambang asal Tasikmalaya, Jawa Barat dan Manado, Sulawesi Utara.
Oleh warga setempat mereka ini disebut sebagai teknisi. Karena dari merekalah warga setempat mengetahui batuan mana yang bernilai dan harus diambil untuk kemudian nantinya di olah dan diambil bijih emasnya.
Selain pemilik lubang, penambang, ojek, perputaran uang karena adanya PETI di Desa Lamunga juga dirasakan kaum ibu-ibu disana. Karena mereka bekerja sebagai pemecah batu. Bahkan, untuk anak-anak tugas mereka sebatas membantu para orang tua memecahkan batuan yang telah diambil dari lubang tambang.
Hal yang sama dilakukan kaum ibu-ibu di tempat itu, mereka terlibat karena ikut membantu pekerjaan suami.
Untuk memecah batuan hasil galian tambang, alat yang digunakan para penambang ini cukup sederhana, yakni martil atau palu dan penahan batu yang terbuat dari karet ban bekas yang telah diberi gagang dari kayu.
Untuk satu karung batuan yang telah dipecah mereka dibayar Rp10 ribu. Itu pun, dalam sehari mereka hanya mampu memecah batuan hingga kecil-kecil antara dua atau tiga karung, kata Ibu Sahnip.
Setali tiga uang dengan Desa Lamunga, di kawasan Gunung Tongo Loka, Desa Tatar Kecamatan Sekongkang. Lokasi-lokasi tambang liar juga banyak bersebaran di tempat ini.
Hanya saja untuk menuju di lokasi ini medannya cukup sulit. Tidak seperti di Desa Lamunga yang secara akses sangat dekat dengan pusat Kota Taliwang.
Sedangkan, di Tongo Loka para penambang harus berjalan kaki hingga menempuh waktu 2-3 jam. Belum lagi para penambang harus melewati lima sungai sebelum berada di pegunungan Tongo Loka. Kawasan Tongo Loka sendiri masuk dalam kawasan konsesi PT AMNT.
Mirisnya di tempat ini merupakan tempat tinggalnya para transmigran yang selama ini menggarap lahan pertanian di kawasan tersebut.
Namun, karena himpitan ekonomi dan hasil yang tidak seberapa dari hidup sebagai petani. Mereka pun akhirnya banyak yang beralih menjadi penambang liar, dan tukang ojek. Karena upah yang di dapat dari hasil memikul batuan jauh lebih menjanjikan.
Di tempat ini para tukang ojek di bayar Rp150 ribu per karung. Namun, dalam sehari mereka hanya bisa memikul 2-3 karung. Karena itu tadi, lokasi yang dilalui cukup sulit naik turun bukit dan melewati sungai sebelum sampai di lokasi puncak tempat lubang-lubang tambang berada.
Kalau masih jadi petani hasilnya nggak seberapa. Apa yang bisa kita makan. Karena kalau musim tanam hanya bisa satu kali dalam setahun," kata Kahar.
Dampak Lingkungan
Walaupun secara ekonomi menggiurkan, namun sayangnya akibat penambangan PETI tersebut. Kini kondisi lingkungan di KSB menjadi tercemar.
Sebab, batuan yang telah dipecah menjadi kecil-kecil nantinya diproses melalui alat yang disebut gelondong (tromol) dan tong. Gelondong dan tong ini sistim kerjanya memiliki fungsi yang sama, yakni untuk memisahkan bijih emas yang ada di dalam batuan. Mesin-mesin ini digerakkan oleh sebuah mesin diesel.
Untuk memisahkan batuan dengan bijih emas, para penambang menggunakan dengan cara mencampuri bahan kimia tambang emas yakni air raksa atau merkuri. Mirisnya lagi mereka menumpah merkuri tanpa ada takaran yang jelas.
Berdasarkan data Barisan Muda Membangun yang tidak lain merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini konsen menyoroti aktivitas PETI di KSB. Jumlah gelondong di KSB pada tahun 2014 sebanyak 6.019 unit dan jumlah tong sebanyak 100 unit dengan kapasitas rata-rata per tong 300 karung.
Keberadaan gelondong dan tong ini tersebar di Sumbawa Barat yang terbagi dalam beberapa zona penambangan. Terbanyak di daerah Taliwang, Breang Rea dan Seteluk, dan Jereweh.
Tak hanya deretan pegunungan yang ikut berubah akibat adanya PETI di Sumbawa Barat. Perubahan drastis juga terlihat pada areal pekarangan rumah-rumah warga. Yang tadinya tanah kosong, namun kini sudah berubah dipenuhi mesin-mesin gelondong dan tong tempat memproses bijih logam menjadi emas.
Sungai-sungai di daerah itu pun kini juga ikut berubah berwarna coklat akibat limbah dari aktivitas PETI yang dibuang sembarangan. Bahkan, jika dilihat kasak mata, air sungai di Sumbawa Barat sama seperti sungai-sungai pada umumnya di Indonesia.
Tapi siapa sangka air sungai yang tadinya bersih kini menyimpan bahaya yang begitu mematikan bagi ekosistem di dalamnya, seperti ikan dan tumbuh-tumbuhan lainnya di sepanjang aliran sungai. Tak hanya terhadap ikan, warga Sumbawa Barat pun juga ikut terancam akibat aktivitas PETI tersebut.
Sekarang ini yang menjadi masalah di KSB, limbah merkuri yang dibuang ke sungai akibat adanya PETI, kata Ketua LSM Barisan Muda Membangun Kabupaten Sumbawa Barat Faozan Azima didampingi Sekretaris Zulkarnaen.
Efek kerusakan lingkungan akibat aktivitas PETI di KSB, kata Faozan, sudah pada tingkat yang sangat parah. Sebab, seluruh limbah pembuangan dari hasil gelondong dan tong dibuang sembarangan.
Walaupun di sekitar gelondong dibuatkan bak-bak penampung untuk menampung lumpur, namun tetap saja seluruh dari aktivitas gelondong dan tong dibuang ke sungai. Kalau tidak ke sungai dibuang begitu saja di sembarang tempat.
Berdasarkan hasil penelitian mereka, bahwa konsumsi merkuri di Sumbawa Barat telah mencapai 180,57 kg/bulan dengan asumsi pemakaian 1 mata gelondong menghabiskan 3 ons/bulan dan jumlah mata gelondong di empat kecamatan (Taliwang, Brang Rea, Seteluk dan Jereweh) mencapai 6.019 mata gelondong.
Untuk memperoleh merkuri, lanjut Zulkarnaen, para penambang membelinya secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari aparat penegak hukum. Meskipun diawal-kemunculan PETI di KSB di tahun 2010, warga masih sangat mudah mendapatkan bahan merkuri.
Ia tidak menampik, meski Pemerintah KSB bersama DPRD KSB, telah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) nomor 1 tahun 2015 tentang peredaran merkuri. Tetap saja barang tersebut bisa lolos.
Kalau pun sekarang sudah diperketat ada saja masih lolos. Makanya dugaan kita penjualan merkuri di KSB dibekingi oleh aparat penegak hukum, tegasnya.
Terkait masih beredarnya merkuri ini, pihaknya juga telah meminta aparat kepolisian untuk menindak bila ada aparat penegak hukum yang membekingi penjualan merkuri di KSB. Bahkan, selain menindak para penjual merkuri, pihaknya pernah memberikan rekomendasi kepada Pemda Sumbawa Barat untuk menghentikan aktivitas pertambangan ilegal tersebut. Kalau pun tidak bisa dihentikan ada upaya untuk melokalisir tambang rakyat tersebut supaya memudahkan pengawasan.
Beberapa usulan tersebut, di antaranya dibentuknya sistem inti plasma kerjasama dengan perusahaan selaku yang memiliki konsesi lahan. Tambang-tambang rakyat dimintakan setoran pajak untuk menambah PAD. Perketat penjualan merkuri, perketat penjualan solar untuk digunakan pada mesin gelondong, tutup aktivitas tong dan menutup toko-toko emas.
Namun, dari beberapa rekomendasi tersebut yang bisa berjalan hanya pengetatan penjualan merkuri, sedangkan lain tidak ada yang berjalan sama sekali.
Meski demikian, dirinya tidak memungkiri secara ekonomi keberadaan PETI di KSB sangat menguntungkan bagi perekonomian warga. Sebab, para penambang tidak lagi merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, di sisi lain dari aspek lingkungan sangat merugikan, meski efek yang ditimbulkan merkuri tidak langsung dirasakan masyarakat karena butuh proses hingga belasan dan puluhan tahun.
Mungkin dampaknya tidak sekarang, karena masih jauh. Cuman kalau ini dibiarkan akan berbahaya untuk kelangsungan hidup manusia dan lingkungan, katanya.
Pemerintah Tawarkan Blok Penambangan
Menyadari berbahayanya PETI tersebut, pemerintah daerah sebetulnya sudah berusaha untuk menekan agar aktivitas PETI tidak terus bertambah di KSB.
Ketua DPRD Sumbawa Barat, Kaharudin Umar, mengakui saat ini pemerintah daerah dilema menyikapi persoalan tambang ilegal tersebut. Mengingat, secara kewenangan pertambangan ada di Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB.
Pemprov NTB melalui Dinas ESDM NTB pada bulan Oktober sudah mengeluarkan rekomendasi terkait penambangan ilegal tersebut. Yakni pembagian zona-zona wilayah penambangan. Blok 1 Jereweh 17 ha, Moteng 25 ha, Tulang Sebunga 25 ha Seloto 25 ha, Elang Ilir 25 ha, dan Tebo 25 ha.
Hanya saja, blok yang ditawarkan pemerintah tersebut ditolak oleh para penambang. Karena lokasi yang ditawarkan pemerintah tersebut menyimpan cadangan emas yang sedikit. Berbeda dengan usulan yang mereka tawarkan yakni Sampar Kebo, Sekunyit, Pakerum, Beringin, Lemontet, Song Lemontet, dan Tongo Loka.
Permintaan para penambang tersebut hingga saat ini akhirnya tak dipenuhi pemerintah. Karena blok yang ditawarkan masyarakat masuk dalam kawasan konsensi AMNT dan Sumbawa Mining Mineral.
Ini menurut kita satunya menutupi tambang. Ini upaya pemerintah untuk mengurangi pertambangan liar," tegas Kaharudin.
Kepolisian Daerah NTB sebetulnya pada Maret 2019 sudah mengambil tindakan tegas terhadap para penambang liar. Selain menangkap mereka juga menahan sembilan orang penyedia bahan baku kimia bagi para penambang ilegal di daerah itu.
Kapolda NTB, Irjen Polisi Nana Sudjana mengatakan sembilan orang yang ditangkap itu tersebar di Lombok Barat, Sumbawa dan Sumbawa Barat. Mereka itu terdiri dari para penyuplai bahan kimia seperti mercury, sianida dan bahan bakar minyak (BBM).
Mereka yang kita tangkap ini ada orang NTB dan luar NTB. Kesembilan orang yang ditangkap tersebut merupakan hasil penyelidikan dan pengembangan serta operasi yang dilakukan satu bulan terakhir oleh Satgas penertiban penambangan liar yang terdiri dari sejumlah unsur mulai dari pemerintah daerah baik provinsi serta kabupaten, kejaksaan dan Badan Intelijen Daerah (Binda).
Ada tiga strategi yang kita lakukan, yakni mulai dari sosialisasi, musyawarah, pengawasan bahan kimia dan penegakan hukum. Dan sembilan orang ini sebagai upaya penegakan hukum," jelas Kapolda.
Selain melakukan penegakan hukum, Kapolda menyatakan pihaknya sudah menutup lokasi-lokasi PETI, seperti di kawasan pegunungan Prabu Kabupaten Lombok Tengah dan Sekotong Lombok Barat. Bahkan di kedua lokasi itu Prabu sudah diberi plang tidak boleh melakukan penambangan dan Sekotong sudah diberikan garis polisi (police line). Kalau pun ada tinggal hanya beberapa tapi segera akan dilakukan penegakan hukum.
Khusus di Prabu ini dekat sekali dengan Mandalika. Yang mana kita tahu Mandalika ini salah satu destinasi pariwisata prioritas pemerintah, makanya kita lakukan penutupan ucapnya. Penambangan itu merusak lingkungan, rusak kesehatan. Dari sudut kepariwisataan sangat buruk dengan adanya pengerukan lahan di penambangan.
Menurut Kapolda, penegakan hukum terhadap para pelaku tersebut sebagai upaya membersihkan NTB dari PETI.
Sebab, kata Kapolda, kegiatan PETI sudah dilakukan puluhan tahun dan meresahkan sehingga harus ada perubahan. Apalagi NTB merupakan daerah pariwisata dan sedang bersemangat bangkit pascagempa bumi 2018.
"Target kita tidak ada lagi PETI di NTB," tegas Kapolda ketika itu.
Para penambang pun sebetulnya menyadari bahwa aktivitas tambang ilegal yang mereka jalani saat ini sangat berbahaya dan memiliki dampak yang cukup besar terhadap lingkungan sekitar. Hanya saja, faktor ekonomi yang membuat mereka mau tidak mau harus mengambil pekerjaan berisiko tersebut.
Sebab, jika masih mengandalkan sektor pertanian kemungkinan nasib mereka tidak akan jauh berubah dari yang sekarang. Mereka sendiri kepingin beralih, namun karena himpitan ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan serta minimnya program pemerintah membuat mereka tetap menjalani kehidupan seperti itu.
Baca juga: Miliaran rupiah perputaran uang di penambangan liar Sumbawa Barat
Baca juga: Penambangan liar di Sumbawa Barat makin marak
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019