Namun, hati-hati jangan sampai kegiatan ini membuat Anda kecanduan.
Sebuah studi baru Comprehensive Psychiatry yang diterbitkan dalam jurnal Elsevier pada November lalu menemukan sekelompok orang melaporkan gejala-gejala kecanduan belanja online (BSD).
Mereka ini cenderung berusia lebih muda, mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih besar, dan cenderung menunjukkan keparahan gejala BSD yang lebih tinggi.
Saat ini, BSD dicirikan sebagai gangguan kontrol impuls spesifik dalam Klasifikasi Penyakit Internasional edisi revisi ke-11.
Baca juga: Criteo: Belanja daring Indonesia bergairah meski ekonomi global melesu
Baca juga: Alibaba capai 12 miliar dolar AS dalam satu jam pertama di 11.11
Tanda-tandanya antara lain keasyikan ekstrem dan keinginan untuk berbelanja, serta dorongan yang tak tertahankan dan pencarian identitas untuk memiliki barang-barang tertentu.
Pasien BSD membeli lebih banyak barang daripada yang mereka mampu, butuhkan, atau gunakan. Hal ini untuk mengatur emosi, misalnya, untuk mendapatkan kesenangan, kelegaan dari perasaan negatif.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menyebabkan masalah misalnya perselisihan keluarga, kekacauan karena penimbunan barang yang patologis, hutang, penipuan karena pengeluaran terus-menerus sementara keuangannya tidak mencukupi.
Studi sebelumnya menunjukkan, aspek-aspek tertentu di Internet untuk membeli dan berbelanja, seperti ketersediaan, anonimitas, aksesibilitas, dan keterjangkauan, berkontribusi pada pengembangan subtipe online BSD.
Baca juga: Tips aman belanja online saat Harbolnas
Baca juga: Tips hemat belanja online saat Harbolnas 12.12
Baca juga: Gratis ongkos kirim, alasan utama belanja online
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019