• Beranda
  • Berita
  • Di balik pengoperasian "subway" Jepang yang padat namun aman

Di balik pengoperasian "subway" Jepang yang padat namun aman

13 Desember 2019 09:25 WIB
Di balik pengoperasian "subway" Jepang yang padat namun aman
Salah satu kereta bawah tanah yang digunakan untuk berlatih di Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center, Tokyo. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Jalur kereta di Jepang memang dikenal sebagai salah satu jalur kereta yang paling rumit di dunia, karena jaringannya sangat banyak dan menjangkau hampir di seluruh wilayah Negara Sakura itu.

Berdasarkan data Kementerian Pertanahan, Infrastruktur dan Transportasi (MLIT) Jepang, panjang lintasan kereta di Jepang mencapai 27.532 kilometer dengan rincian di tiga kota besar, di antaranya Tokyo mencapai 2.420 kilometer (8,8 persen), sementara itu di kota besar lainnya, yakni Osaka 1.552 kilometer (5,6 persen) dan Nagoya 977 kilometer (3,5 persen).

Dalam setahun, kereta di Tokyo sendiri mengangkut 14,6 miliar penumpang (59,9 persen), di Osaka 4,5 miliar penumpang (18,5 persen), dan Nagoya 1,2 miliar penumpang (4,7 persen).

Dengan begitu banyaknya orang yang diangkut serta jaringan yang dioperasikan oleh ratusan operator kereta, lalu bagaimana sistem pengoperasiannya mengingat sistem perkeretaapian di Jepang sangat teratur dan tepat waktu.

Salah satu operator kereta perkotaan yang terkenal di Jepang, Tokyo Metro, menceritakan di balik pengoperasian kereta yang didominasi oleh jaringan kereta bawah tanah atau subway itu.

Seorang Kepala Teknisi memeragakan penggunaan alat untuk belajar persinyalan Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center, Tokyo. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)


Antara melalui MRT Jakarta Fellowship Program 2019 berkesempatan untuk mengunjungi Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center sekaligus mencoba simulator kereta yang sangat canggih.

Director International Relations Department Corporate Planning Headquarters Tokyo Metro Co Ltd Naoto Kimura menyebutkan saat ini pihaknya mengoperasikan total sembilan jalur sepanjang 195,1 kilometer.

Sembilan jalur itu di antaranya Ginza Line sepanjang 14,3 kilometer, Marunouchi Line 27,4 kilometer, Hibiya Line 20,3 kilometer, Tozai Line 30,8 kilometer, Choyoda Line 24,0 kilometer, Yurakucho Line 38,3 kilometer, Hanzomon Line 16,8 kilometer, Namboku Line 21,3 kilometer dan Fukotoshin Line 11,9 kilometer.

Jalur-jalur tersebut menghubungkan 179 stasiun di mana sebanyak 2.719 kereta beroperasi yang mengangkut rata-rata 7,58 juta penumpang per hari dengan waktu kedatangan hanya satu menit 50 detik untuk jalur Marunouchi Line.

“Saking banyaknya penumpang yang kami angkut jadi headway-nya pendek sekali. Terpendek itu satu menit 50 detik,” kata Kimura.

Semakin banyaknya orang yang diangkut, dampak positifnya yakni tingkat kepadatan jalan raya semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Saat ini porsi penggunaan moda (modal share) masyarakat yang menggunakan kereta api mencapai 48 persen, bus tiga persen, sepeda 14 persen, jalan kaki 23 persen, dan mobil 12 persen.

“Rata-rata semua orang, termasuk kami juga berangkat pulang kantor jalan kaki ke stasiun atau naik bus atau naik sepeda ke stasiun, setelah itu terus semuanya menggunakan kereta. Jadi kami semua ini kalaupun bawa mobil hanya akhir pekan saja,” katanya.

Uniknya, 80 persen jalur kereta yang dioperasikan berada di bawah tanah, berbeda dengan jaringan kereta lainnya di jalur biasa atau layang (elevated).

Kimura menceritakan dahulu masih banyak jalur kereta di atas tanah, namun lama-kelamaan menyebabkan kemacetan, akhirnya jalur kereta dialihkan ke bawah tanah.

Ruangan untuk belajar persinyalan Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center, Tokyo. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)


“Dulu itu masih banyak trem, kalau trem di atas jalan mengganggu juga menyebabkan macet kemudian dialihkan diubah menjadi subway,” katanya.

Pada 1955 sebagian besar warga Tokyo yakni 38 persen menggunakan jalur yang dioperasikan oleh JR, di mana saat itu masih berstatus milik negara bernama Japan National Railways (JNR) yang kemudian berubah menjadi perusahaan swasta dan berganti nama menjadi Japan Railways (JR).

Sementara itu berdasarkan data Tokyo Metro sebanyak 21.1 persen di antaranya menggunakan jalur kereta api yang dioperasikan oleh swasta, trem 17,7 persen, bus 11,2 persen, taksi dan limousine 8,3 persen, dan kereta bawah tanah 3,6 persen.

Pada 2013 mulai terjadi peningkatan signifikan pengguna kereta bawah tanah yakni 30,7 persen, meskipun masih di bawah JR 32,2 persen, kereta swasta 27,3 persen, bus 3,4 persen, taksi dan limousine 3,0 persen, dan trem 0,3 persen.


Budaya Keselamatan

Untuk itu, sistem pengoperasian harus diatur secara presisi guna menghindari adanya kecelakaan di jalur bawah tanah yang cenderung lebih sulit untuk dideteksi karena kondisinya yang gelap.

Budaya keselamatan merupakan nilai yang sangat ditanamkan bagi seluruh calon masinis, teknisi, seluruh sumber daya manusia (SDM) yang mengikuti pelatihan serta pendidikan di Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center.

Sebagaimana misi perusahaan, yakni peace of mind yang bisa tercipta apabila merupakan gabungan dari aspek safety (keselamatan) dan service (layanan).

“Jadi untuk bisa menyediakan layanan sehingga penumpang merasa aman dan nyaman maka kami juga harus melakukan satu bentuk pendidikan di bidang safety dan service dengan tuntas yang kita adakan training center,” kata Kimura.

Pusat pelatihan Tokyo Metro tersebut sangat lengkap, mulai dari ruang kelas, ruang untuk belajar persinyalan dengan lintasan rel kereta asli, serta sejumlah meja dengan tombol kendali, simulator yang dirancang seperti kereta sungguhan dengan penyesuaian empat musim hingga auditorium yang juga bisa disulap jadi ruang olahraga.

Kimura mengatakan pusat pelatihan yang berdiri di atas lahan seluas 2,7 hektare itu mulai beroperasi pada 1 April 2016 yang sudah dikunjungi 16.000 pengunjung dari 60 negara.

Para masinis serta teknisi dari berbagai negara juga dilatih di pusat pelatihan tersebut, termasuk juga untuk transfer of knowledge untuk sumber daya manusia (SDM) PT MRT Jakarta.

Ruangan yang disulap menyerupai stasiun aslinya di Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center, Tokyo. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)


“Seperti Anda ketahui di sektor transportasi, terutama kereta api itu yang tidak boleh terjadi adalah kecelakaan. Jadi orang-orang berkunjung ke tempat kami karena ingin melihat bagaimana cara menghindarkan kecelakaan di sektor kereta api ini, alat-alat seperti apa yang digunakan untuk melatih kemudian bagaimana metode pendidikan dan pelatihan kepada orang-orang terkait di dunia kereta api,” katanya.

Di ruang simulator, calon masinis berlatih di ruang kemudi kereta dengan layar yang menampilkan jalur serta situasi sesuai dengan kondisi aslinya.

Selain itu juga terdapat ruangan yang dibuat menyerupai stasiun, termasuk signage dan vending machine pembelian tiket untuk membantu para calon penumpang yang masih belum terbiasa dengan fasilitas tersebut, terutama wisatawan asing.

Di luar gedung terdapat depo yang bisa menampung 22 jalur kereta, baik kereta yang dioperasikan oleh Tokyo Metro maupun kereta operator lain.

Depo di area Tokyo Metro Comprehensive Learning and Training Center, Tokyo. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)


Terus Bertambah

Pakar dari Japan International Cooperation Agency Hideaki Tanaka mengatakan permintaan akan angkutan kereta komuter di Jepang, terutama di kota besar meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan populasi.

Sehingga, kereta perkotaan Jepang sendiri pernah mengalami Commuter Hell pada 1960an, tepatnya saat Negara Mata Hari Terbit itu menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas pada 1964.

Commuter Hell merupakan kondisi kereta yang sangat berdesakan, bahkan terjadi dorong-mendorong antarpenumpang pada saat menaiki kereta.

Bahkan tingkat kepadatannya mencapai 300 persen, meskipun jaringan kereta perkotaan sudah mencapai kisaran 1.500 kilometer pada tahun 1960an.

Karena itu lah, timbul ide untuk mengembangkan jaringan kereta perkotaan bawah tanah karena sudah sangat sulit membangun di atas tanah.

Seiring waktu, jaringan kereta bawah tanah terus berkembang, yakni yang awalnya hanya 30,9 kilometer pada tahun 1960an, terus meningkat menjadi 1.880 kilometer pada 1980, kemudian 2.060 kilometer pada tahun 2000 dan 2.420 kilometer pada 2010.

Dengan demikian, tingkat kepadatan (congestion rate) di dalam kereta pun terus berkurang dari 221 persen pada 1975 menjadi 176 pada 2020 hingga 164 persen pada 2016.

“Ditargetkan terus menurun sampai 150 persen, jadi penumpang di dalam kereta masih bisa membaca koran,” katanya.

Baca juga: Jepang ternyata pernah alami "Commuter Hell"

Baca juga: Tokyo Metro layani 110 penumpang per detik

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019