Berharap pahit kopi usir api di gambut Meranti

16 Desember 2019 13:31 WIB
Berharap pahit kopi usir api di gambut Meranti
Rahmat saat meracik kopi gambut yang ia kembangkan. (ANTARA/Anggi Romadhoni)

Sekarang sekitar 50 kilogram kopi habis di kedai saya untuk satu bulan pertama

Kopi gambut, begitu masyarakat setempat biasa menyebut. Kopi yang sejatinya jenis liberika itu kini tengah naik daun di kalangan petani Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Komoditas itu disebut cukup bersahabat dengan kontur lahan di Meranti, gugusan pulau yang berada di bibir Selat Malaka dan mayoritas tertutupi bantalan tanah organik, gambut.

Pengelolaan lahan gambut yang salah kerap dituding sebagai masalah saat musim kemarau tiba. Gambut rusak akibat pembabatan hutan selama puluhan tahun menjadi bahan bakar tak terbatas. Dampaknya, kebakaran lahan meluas, sulit untuk dikendalikan dan membuat negeri jiran was-was.

Belakangan sejumlah pihak menyebutkan bahwa tanaman kopi bisa menjadi solusi menghentikan penyebaran api saat kemarau tiba. Kopi juga disebut memiliki nilai ekonomi tinggi, tak kalah dibandingkan dengan komoditas lain yang dituduh penyumbang kerusakan.

"Kopi ini tanaman yang bersahabat," kata Rahmat, pemuda berusia 38 tahun yang berasal dari pedalaman Kepulauan Meranti.

Baca juga: Tren kedai kopi, sumber ekonomi baru Sumatera Selatan

Rahmat mengatakan sejak dua dekade lalu, kopi telah menjadi bagian dari masyarakat Kepulauan Meranti. Masyarakat menanam kopi, bersama dengan tanaman lainnya seperti pinang dan kelapa. Menurut dia, kopi membutuhkan tanaman pelindung, asal bukan sawit.

Pada 1997, saat badai krisis menghantam Indonesia, perlahan kopi mulai memudar. Masyarakat banyak beralih ke tanaman yang secara fisiologis tidak bersahabat dengan gambut. Dampaknya, gambut rusak dan mudah terbakar, hingga kini. 

Dua tahun terakhir, pelan tapi pasti pamor kopi gambut mulai meningkat. Rahmat, yang juga petani kopi mengambil peluang itu. Dia lantas membentuk kelompok masyarakat.

Kini, tak kurang 20 petani telah menanam kopi liberika di Kecamatan Rangsang, Meranti. Mereka tergabung dalam kelompok Bina Sempian. Langkah kecil Rahmat mendapat perhatian besar. Salah satunya dari Badan Restorasi Gambut (BRG).

Melalui program R3 atau revitalisasi ekonomi, BRG memberikan dukungan peralatan memproduksi kopi hingga pembinaan dalam usaha budidaya kopi liberika.

Dukungan serupa diperoleh Rahmat dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti serta Provinsi Riau. Melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, kini kopi gambut siap menjangkau pasar lebih luas.

Kopi gambut, begitu merek dagang yang dipilih Rahmat dalam dua jenis kemasan menarik. Upaya Rahmat merebut hati penikmat kopi gambut juga dilakukan dengan membuka kedai kopi kecil di Kota Pekanbaru, ibu kota provinsi Riau.

Selain itu, dia juga aktif memperkenalkan kopi gambut-nya di berbagai even pameran. Hasilnya luar biasa, masyarakat menyambut baik citarasa kopi gambut dengan aroma unik, dan lebih mirip Arabika meski tak sekuat robusta itu.

"Sudah satu bulan saya buka di Pekanbaru dan aktif mengikuti ajang pameran. Alhamdulillah hasilnya luar biasa. Sekarang sekitar 50 kilogram kopi habis di kedai saya untuk satu bulan pertama," ujarnya.

Rahmat berharap keberadaan kopi bisa menjadi salah satu opsi bagi pemerintah untuk menekan kebakaran gambut di Meranti, dan Riau secara luas. Mengingat sebagian besar Bumi Lancang Kuning itu ditutupi bantalan gambut yang membutuhkan perlakuan khusus.

Gubernur Riau Syamsuar juga menyadari betapa kopi bisa menjadi salah satu pilihan mengatasi ganasnya api saat musim kering tiba. Dia mengatakan, tanaman kopi Liberika dinilai layak dikembangkan di Provinsi Riau. Apalagi, wilayah pesisir mayoritas merupakan lahan gambut.

Selain itu, Syamsuar mengatakan komoditas kopi saat ini diterima dengan baik di pasar dunia internasional dan sukses dibudidayakan di wilayah Kepulauan Meranti. Menurutnya, kopi cocok ditanam di lahan bekas terbakar. Penanaman kopi di areal yang terpanggang oleh kebakaran lahan dan hutan merupakan salah satu solusi.

"Kami tidak berharap di situ ditanami dengan tanaman sawit lagi," kata Syamsuar belum lama ini.

Ia menyebut masyarakat Provinsi Riau masih memiliki pola pikir bahwa sawit merupakan sumber kehidupan utama. Padahal, kopi seperti jenis Liberika telah sukses dikembangkan di wilayah pesisir, seperti Kepulauan Meranti, Riau.

Untuk itu, dia berharap kepada Kementerian Pertanian dapat membantu penyediaan bibit kopi untuk bisa dikembangkan di wilayah bekas Karhutla.

"Kalau bisa ada bibit dari pemerintah, yang bisa cocok dengan tanaman gambut bekas terbakar. Jadi kalau bisa kita ekspor, salah satunya kopi. Itu jadi ikon internasional," jelasnya.

Baca juga: Presiden Jokowi minta warung kopi lokal diprioritaskan di "rest area"

Ramah gambut

Rahmat menjadi salah satu petani kopi yang tergabung dalam kelompok masyarakat binaan BRG. Selain kopi, dalam tiga tahun BRG melalui program R3 turut mendorong budidaya tanaman ramah gambut, seperti nanas, kayu hutan, hingga madu.

Di Riau, total terdapat 299 kelompok masyarakat yang telah terbentuk melalui program revitalisasi BRG. Akhir pekan kemarin, mereka mendeklarasikan pembentukan koperasi.

"Ini inisiatif setelah tiga tahun program BRG bergulir. Tujuannya agar mereka lebih kuat, dan kita dukung sepenuhnya," kata Kepala BRG Nazir Foead dalam sambutannya saat deklarasi Koperasi Petani Gambut Riau (KPG-Riau).

Nazir mengatakan sejak 2017, BRG telah melakukan program revitalisasi ekonomi atau R3 sebagai komponen penting restorasi ekosistem gambut. Program ini berhasil memberikan wadah masyarakat untuk memanfaatkan ekosistem gambut dengan ramah lingkungan dan menghasilkan produk-produk khas gambut yang memiliki nilai jual.

Koperasi ini diharapkan menjadi wadah konsolidasi hasil pertanian, perkebunan dan usaha kecil dari para petani, peningkatan kualitas produk, serta akses ke pasar yang lebih kuas.

"Kita harapkan program revitalisasi ekonomi ini dapat berdikari dan berkelanjutan," ujarnya.

Menurut Nazir, Provinsi Riau merupakan salah satu area prioritas restorasi sesuai dengan tugas BRG yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.

BRG hadir di Provinsi Riau mengajak seluruh elemen masyarakat gambut untuk bersama menjaga, memelihara dan memperbaiki tata kelola ekosistem gambut rusak, salah satunya dengan program revitalisasi ekonomi atau R3.

Program berbentuk investasi sosial ekonomi ini ditanamkan oleh Pemerintah melalui BRG dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Provinsi Riau.

Kelompok masyarakat ini tersebar di sepuluh kabupaten/kota di wilayah Provinsi Riau yang masuk dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) prioritas intervensi BRG tahun 2017 – 2019, yaitu: Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Kota Pekanbaru, Kampar, Siak, Bengkalis, Kota Dumai, dan Kabupaten Rokan Hilir.

"Kontribusi UMKM dalam ekonomi bangsa ini sangat besar, tulang punggung ekonomi negara. Sudah terbukti ketika ada berbagai macam krisis ekonomi bertahan dengan ada UMKM," kata Nazir.

Dewi Syarlen, Asisten Deputi Pertanian dan Perkebunan, Kementerian Koperasi dan UKM mengatakan bahwa pihaknya akan membantu para Pokmas binaan BRG untuk mengembangkan usaha mereka.

"Dengan membangun koperasi dan berkelompok maka hasilnya lebih maksimal. Nanti koperasi akan menyalurkan produk mereka. Sekarang kan hasil melimpah namun yang nampung tidak ada," tuturnya.

Baca juga: Produktivitas petani kopi Sumatera Selatan masih rendah

Pewarta: Anggi Romadhoni
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019