"Pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia," kata Mu'ti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Muhammadiyah, kata dia, mendesak agar Wallstreet Journal meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya.
Baca juga: Muhammadiyah tolak tuduhan suap China soal Uighur
Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi mengatakan pihaknya tidak menerima suap dalam bentuk apapun dari pemerintah China.
Dia mengatakan dalam kunjungan Muhammadiyah, NU dan MUI ke Xinjiang pada Februari 2019 menemukan sejumlah kejanggalan soal kondisi beragama di kawasan yang mayoritas dihuni Etnis Uighur.
Baca juga: Dubes AS minta PBNU juga soroti muslim Xinjiang
Muhyiddin mengatakan delegasi ormas meminta diantar otoritas China ke masjid untuk Shalat Subuh, tetapi tidak dipenuhi dengan alasan tempat ibadah yang jauh dan cuaca dingin.
"Tapi apapun permintaan dari tamu harusnya diberi oleh 'shohibul bait' atau tuan rumah," kata dia.
Baca juga: Aktivis: Islam berkembang baik di China
Kemudian, kata dia, ada kejanggalan logo kiblat di tempat penginapan delegasi ormas yang nampak baru dipasang. Sejumlah informasi itu menjadi penanda awal bahwa China memang tidak mengakomodasi praktik agama secara terbuka.
"Kami juga tidak melihat perempuan di Xinjiang mengenakan hijab meski di sana Islam adalah mayoritas. Mengenakan hijab di ruang terbuka dianggap radikal. Perempuan boleh mengenakan hijab di ruang tertutup," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019