Lahan sekitar 400 hektare di Desa Ekang Anculai, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, yang merupakan pemberian Presiden RI kedua Soeharto kepada para transmigran mendadak berubah status menjadi hutan lindung.Kami laporkan permasalahan ini kepada 11 kementerian dan lembaga
Salah seorang transmigran tahun 1970-an, Suryono Slamet di Desa Ekang Anculai Sabtu mengatakan penetapan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 76/2015 telah melanggar konstitusi.
Baca juga: Ampera laporkan penetapan hutan lindung Bintan ke Presiden
Rakyat dirugikan akibat kebijakan sepihak tersebut, kata Suryono, yang sejak tahun 1978-2002 menjabat sebagai kepala desa.
Ia juga merasa aneh, lahan pemberian Presiden RI kedua, Soeharto kepada para transmigran dengan tujuan untuk ketahanan pangan di Bintan tiba-tiba beberapa bulan lalu berubah status menjadi hutan lindung. Bahkan sampai sekarang dasar penetapan hutan lindung itu belum diketahui.
Baca juga: 210.000 bibit pohon ditanam di hutan lindung Lahat
Sekitar 200 orang transmigran memperoleh lahan 420 hektare dari 820 hektare lahan yang sebelum dikelola oleh perusahaan asal China. Pemerintah tidak memberikan ijin terhadap perusahaan tersebut, dan menyerahkan lahan seluas 420 hektare kepada pemerintah untuk dikelola sebagai lahan pertanian.
Lahan itu pun digarap sampai sekarang untuk pertanian dan perkebunan. Rata-rata warga transmigran menguasai lahan 1-2 hektare, beserta tempat tinggal mereka.
Baca juga: Walhi minta tertibkan perkebunan di kawasan lindung
Suryono sendiri mendapatkan lahan tersebut untuk rumah dan pekarangan seluas 2.000 meter persegi, telah bersertifikat sejak tahun1991. Sementara lahan untuk perkebunan memiliki surat atas hak.
Selama mengusai lahan itu, ia dan warga lainnya membayar pajak.
Selama lebih dari 30 tahun mengelola lahan itu, baru kali ini Suryono dan ratusan kepala keluarga lainnya dihadapkan dengan permasalahan yang rumit. Warga merasa hak mereka sebagai warga negara telah dirampas oleh oknum penguasa.
"Ini negara mau dikelola seperti apa? Saya sakit hati sekali, karena puluhan tahun menggarap lahan, namun tiba-tiba dijadikan sebagai kawasan hutan lindung," ucapnya.
Suryono mengatakan permasalahan ini harus diketahui Presiden RI. Ia meyakini Presiden Joko Widodo tidak mengetahui permasalahan.
Jika presiden mengetahuinya, ia berharap hak rakyat atas tanah yang dikuasai dikembalikan.
Ia juga berharap oknum-oknum di pemerintahan yang diduga mendapat keuntungan dari penetapan kawasan hutan ini, dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan tanah masyarakat sudah melaporkan permasalahan itu kepada presiden, KPK, Mabes Polri, BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Mendagri.
"Kami laporkan permasalahan ini kepada 11 kementerian dan lembaga," kata Ketua Ampera Iman Ali.
Lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung dieksekusi oleh petugas baru dua bulan lalu, meski surat keputusan Menteri Kehutanan ditandatangani tahun 2015. Ratusan warga yang mengusai ribuan hektare lahan pada lima kecamatan terkena imbasnya.
"Bahkan ada pengusaha perumahan yang dirugikan akibat penetapan hutan lindung di perumahan yang dibangunnya," katanya.
Menanggapi permasalahan itu, Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kepri Ruwa mengatakan, para pihak yang merasa keberatan atas penetapan kawasan hutan itu dapat mengajukan surat keberatan kepada Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) di Bintan.
"Bawa surat-surat tanah, dan ajukan keberatan kepada BPKH. Nanti akan diproses," ujarnya.
Ruwa mendapatkan informasi terkait lahan transmigran bersertifikat tersebut.
Ia mengatakan penetapan kawasan hutan lindung tersebut sudah melalui proses, dimulai dari usulan dari Bupati Bintan. Usulan penetapan kawasan hutan yang masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Bintan diusulkan kepada Kementerian Kehutanan sejak tahun 2010.
Usulan itu kemudian ditelaah oleh tim padu serasi yang dibentuk Kementerian Kehutanan. Hasil telaah tim padu serasi itu yang melahirkan Keputusan Menteri Nomor 76/2015.
"Jadi penetapan kawasan hutan oleh pihak Kementerian Kehutanan itu bukan asal-asalan, melainkan berdasarkan usulan dari Pemkab Bintan sejak tahun 2010," ujarnya.
Terkait polemik penetapan kawasan hutan itu, yang menyebabkan ratusan pemilik lahan merasa dirugikan, Ruwa enggan menanggapinya.
Ia menyarankan para pemilik lahan untuk mengajukan surat keberatan kepada BPKH pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019