Asa itu datang dari imunoterapi

22 Desember 2019 21:02 WIB
Asa itu datang dari imunoterapi
Penyintas kanker mediastinum Ken Norton Girsang (ANTARA/Indriani)

Metode pengobatan kanker sangat maju dan ke depannya lebih personal

Mata Ken Norton Girsang (43) menerawang ke arah langit-langit, mengenang masa saat diminta menceritakan mengenai penyakit yang dideritanya.

Siang itu lelaki yang bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta itu, mengenakan baju kaos berwarna hitam dengan blankon berwarna coklat di kepalanya.

Duduk di atas kursi kayu, Ken mengenang peristiwa hampir setahun yang lalu, saat ia didiagnosis mengidap kanker mediastinum. Mediastinum merupakan rongga di antara paru-paru kanan dan kiri, yang di dalamnya terdapat jantung, aorta, arteri besar, pembuluh vena besar, trakea, jaringan ikat, kalenjar timus, saraf, kalenjar getah bening, dan salurannya.

"Gejala awalnya batuk-batuk, itu sekitar akhir Desember 2018. Saya batuk-batuk dan hampir tiga bulan tidak berhenti, tapi kebiasaan orang Indonesia tidak begitu peduli. Kebetulan waktu itu lagi 'musim' batuk," kenang Ken saat ditemui di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, pertengahan Desember.

Selain batuk, tanpa ia sadari tubuhnya semakin menyusut. Beratnya biasanya pada kisaran 67 kilogram menyusut hingga 55 kilogram. Pada saat itu ia masih tidak menyadari penyakit dideritanya tersebut.

Orang-orang yang ada di sekitarnya pun risau dengan kondisi badannya yang semakin kurus. Ia masih menganggap hal itu angin lalu. Meskipun Ken merasakan terkadang dadanya nyeri dan tak jarang pula ia mengalami keringat dingin saat naik motor.

"Makin lama batuknya makin aneh, seperti 'bengek', ringkih begitu. Tapi masih belum untuk periksa, karena saya kira masih batuk biasa," kata dia lagi.

Ken merupakan seorang perokok berat, yang memulai kebiasaan itu sejak remaja. Namun kebiasan merokoknya itu semakin parah, saat menjadi jurnalis, dalam sehari bisa menghabiskan dua sampai tiga bungkus rokok.

Pada akhir Desember 2018, Ken dan istri pulang ke Medan, Sumatera Utara. Tempat orangtuanya berada. Orangtuanya tidak tega mendengar batuk Ken yang semakin parah, dan merasakan ada yang aneh pada anaknya.

Ibunya pun memaksa Ken ke dokter untuk berobat. Dokter yang menanganinya menyuruhnya untuk melakukan rontgen, dan dari hasil rontgen diketahui ada massa yang besar menutupi paru-parunya.

"Kalau dirontgen itu seperti gambar putih. Massa yang menutupi itu bisa air maupun daging yang membungkus paru-paru," jelas dia.

Meski demikian, dokter yang menanganinya di Medan itu mengatakan bahwa itu bukan di paru-paru melainkan di mediastinum. Dokter tersebut mengatakan kemungkinan besar tumor.

Dokter tersebut kemudian menyarankan agar Ken melanjutkan pengobatan di Jakarta, tempat Ken menetap. Setelah pulang dari Medan, kondisinya semakin memburuk. Dokter di Jakarta belum bisa memastikan apa penyakit yang dideritanya dan harus dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh. Biayanya cukup besar.

"Waktu itu saya belum ikut BPJS Kesehatan. Biasalah kebiasan orang Indonesia," kenang dia.

Selepas dari dokter, kondisi Ken semakin memburuk. Seluruh tubuhnya sakit, dan ia tidak bisa tidur. Keringat dingin mengucur di tubuhnya. Tak tahan lagi, ia pun dilarikan ke IGD RS Persahabatan.

Setelah menjalani serangkaian perawatan dan tes seperti tes darah, CT Scan, maupun biopsi, diketahui ia mengidap kanker langka yakni kanker mediastinum dengan massa yang cukup besar. Besaran massanya sekitar 12x17x12 centimeter.

"Jumlahnya cukup besar. Sejak itu pula, kondisi saya semakin memburuk. Saya tidak bergerak, dan harus memakai kursi roda. Dokter hanya bisa kasih obat pereda nyeri karena baru bisa diberikan setelah bronkoskopi. Dari hasil bronkoskopi diketahui kalau sel kankernya ada di mediastinum bukan di paru-paru."

Secara psikologis, dirinya juga tertekan begitu tahu didiagnosis menderita kanker. Dunianya pun seakan terhenti. Belakangan diketahui, ia mengidap kanker mediastinum stadium lanjut atau IV.

Baca juga: Indonesia kini punya terapi baru pengobatan kanker paru

Pengobatan

Langkah awal yang harus dijalaninya sebagai bagian pengobatan kanker mediastinum, yakni dengan melakukan penyinaran atau radioterapi. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan dan memperkecil sel kanker.

Ia harus menjalani setidaknya 30 kali penyinaran, selama kurang lebih dua bulan. Beruntung kantornya memberinya izin untuk menjalani pengobatan.

"Setelah melakukan penyinaran, saya masih sering pusing tapi saya tidak memakai kursi roda lagi. Sudah bisa jalan meski tertatih-tatih."

Begitu Ken didiagnosis kanker, ibunya langsung terbang ke Jakarta untuk merawat anaknya itu. Setiap pagi ibunya membuatkan jus yang berisi buah bit, nanas, apel, dan wortel. Juga lima telor bebek diblender setiap hari untuk diberikan kepadanya. Sesekali daun pepaya dibikin jus.

"Saya belum bisa menelan, semuanya diblender dan dipaksa dihabiskan."

Hal itu dilakukan seiring dengan pengobatan yang dijalaninya. Hasilnya menunjukkan kemajuan yang signifikan, dan massa di mediastinumnya berkurang 25 persen setelah menjalani 30 kali penyinaran. Kondisi fisiknya pun tidak pernah menurun.

Setelah penyinaran, Ken harus menjalani pengobatan kemoterapi yang dijalaninya selama enam kali. Untuk satu kali kemoterapi, jaraknya sekitar tiga minggu.

Setiap hendak kemoterapi, Ken harus mempersiapkan diri lebih dulu. Pasalnya efek dari kemoterapi itu membuat perasannya tidak nyaman. Tepatnya dua hari setelah kemoterapi. Meski demikian, ia mengakui kondisinya semakin membaik dan tidak pernah diopname lagi.

Berat badannya pun sudah kembali ke normal. Nafsu makannya pun tinggi. Setelah menjalani enam kali kemoterapi, massa sel kanker di mediastinumnya, semakin menyusut hingga lebih dari 50 persen.

"Nah, dokternya belum kasih arahan karena CT Scan baru akan dilakukan pada Januari. Setelah itu, baru dokternya memutuskan apakah harus kemoterapi lagi atau tidak," papar Ken.

Sebagai penyintas kanker, Ken mengaku optimistis sel kanker di tubuhnya akan semakin menyusut. Pola hidupnya pun berubah menjadi sehat. Ia sudah meninggalkan kebiasaan merokoknya.

Ia berusaha sedapat mungkin tidak memiliki beban pikiran. Sejak mengidap penyakit, Ken mengaku dirinya lebih mendekatkan diri pada agama.

Selama satu tahun terakhir,ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan rumah sakit. Beruntung kantornya berbaik hati memberinya kelonggaran agar bisa bekerja dari rumah.

"Kemungkinan untuk sembuh ada, tapi lama. Kata dokter, ada istilahnya masa survive'untuk penderita kanker yakni lima tahun. Jadi selama itu harus menjaga pola hidup."

Ke depan, Ken berharap semua penyintas kanker dapat dengan mudah mengakses fasilitas kesehatan dan metode pengobatan terkini.

Saat ini saja, rumah sakit yang bisa menangani pasien kanker tidak banyak dan sebagian besar berada di kota besar. Menurut dia, paling tidak ada satu rumah sakit di setiap pulau besar di Tanah Air.

Sementara, metode pengobatan terkini diperlukan agar dapat memberikan harapan bagi penyintas kanker agar memiliki hidup yang berkualitas.


Batuk berkepanjangan

Lain Ken, lain pula Marchadi (54) yang dinyatakan mengidap kanker paru pada November 2014.Marchadi atau Hadi bukanlah seorang perokok dan selalu menerapkan pola hidup sehat.

Gejala awal dari penyakit dideritanya itu yakni batuk berkepanjangan, hingga satu tahun lamanya. Begitu diperiksa, diketahui ia mengidap kanker paru stadium empat.

"Begitu terdeteksi, saya menjalani pengobatan kemoterapi infus selama enam kali," kata Hadi.

Alih-alih sembuh, tumor yang ada di paru-parunya semakin membesar. Penyebaran sel kankernya semakin banyak, dan saat batuk keluar darah segar. Ia pun mengalami resistensi obat kemoterapi.

Setelah dilakukan tes darah, diketahui Hadi mengidap kanker paru jenis Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) positif. Mulai Agustus 2017, ia diberikan obat terapi target antiALK generasi pertama.

"Namun lagi-lagi, saya kembali mengalami resistensi dan dari hasil MRI menunjukkan sel kanker sudah menjalar ke otak," kata Hadi lagi.

Pada April 2019, Hadi mulai mengonsumsi satu jenis obat antiALK generasi kedua yakni Alectinib. Hadi mengaku dirinya mengalami kemajuan signifikan, beberapa titik kanker di kepalanya mengecil dan bahkan ada yang menghilang.

Obat itu pula yang membuatnya bisa bertahan hingga sekarang. Meski demikian, obat tersebut masih terbilang mahal.

Dukungan dari keluarga dekat dan komunitas, memiliki peranan besar untuk bertahan dan melawan penyakit yang diidapnya.

"Pasien kanker sangat menantikan metode pengobatan terbaru."

Terkait penyakit yang dideritanya, Hadi berpesan pada masyarakat untuk menjaga kesehatan. Pasalnya banyak faktor yang menyebabkan penyakit kanker, seperti kelelahan fisik dan psikis.

Baca juga: Imunoterapi cara baru obati kanker kulit melanoma

Inovasi pengobatan

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi kanker menunjukkan Indonesia mengalami peningkatan dari riset sebelumnya, yakni 1,4 per 1.000 penduduk pada 2013 menjadi 1,79 per 1.000 penduduk.

Data Globocan 2018 juga menunjukkan terdapat 18,1 juta kasus baru dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian. Angka kejadian kanker di Tanah Air yakni 136,2 per 100.000 penduduk. Indonesia menempati urutan kedelapan di Asia Tenggara.

Kaum lelaki lebih banyak menderita kanker paru, yakni 19,4 per 100.000 penduduk. Kanker hati dengan kejadian sebesar 12,4 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk perempuan, lebih banyak menderita kanker payudara yakni 42,1 per 100.000 penduduk. Kemudian kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100.000 penduduk.

Dokter spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr dr Ikhwan Rinaldi SpPD-KHOM M.Epid FINASIM FACP, mengatakan seorang penderita kanker, sulit untuk dikatakan sembuh karena seumur hidup akan menjadi penyintas kanker.

Penyakit juga menyebabkan beban ekonomi yang cukup berat. Sekaya apapun penderita kanker, jika penderita itu mengalami penyakit kanker maka cenderung akan mengalami kebangkrutan.

"Metode pengobatan kanker sangat maju dan ke depannya lebih personal, atau berbeda untuk setiap orangnya," kata Ikhwan.

Meski demikian tidak semua negara memiliki kesiapan dalam teknologinya. Terobosan terbaru pengobatan kanker stadium lanjut, yakni metode imunoterapi. Imunoterapi sendiri memiliki prinsip memanfaatkan kekebalan sel tubuh pasien sendiri untuk melawan kanker.

Dalam darah putih manusia, terdapat sel T, yang bermanfaat untuk menyaring sel kanker. Namun ada kala, sel T tidak dapat melawan sel kanker. Melalui metode imunoterapi, sel imum dilatih kembali untuk dapat membunuh sel kanker.

Untuk imunoterapi sendiri terdapat beragam metodenya yakni Checkpoint Inhibitors, Cytokine Induced Killer Cell (CIK), dan vaksin. Namun yang banyak dipakai yakni Atezolizumab atau anti PD-L1.

Metode itu diklaim mampu meningkatkan angka ketahanan hidup pasien. Misalnya, yang sebelumnya memiliki harapan hidup 16 bulan meningkat menjadi 30 bulan.

Terkait efek samping metode imunoterapi berbeda dengan kemoterapi. Kemoterapi tidak hanya membunuh sel kanker, tetapi juga menimbulkan efek samping seperti leukosit turun, sel darah putih turun, rambut rontok, maupun perasaan tidak enak. Untuk imunoterapi sendiri memiliki efek samping ringan seperti alergi ringan, berat, hingga demam.

Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Arif R Hanafi, mengatakan pengobatan imunoterapi bisa diterapkan untuk kanker stadium lanjut terutama untuk kanker paru.

Rata-rata, pasien yang datang memiliki ketahanan hidup dua hingga tujuh persen dalam lima tahun. Melalui imunoterapi, ketahanan hidup tersebut dapat ditingkatkan menjadi 18 persen.

Untuk pengobatannya pun, tergantung mutasi gen pasien, yang mana untuk kanker paru lebih reaktif. Arief menjelaskan pasien akan diberi obat imunoterapi setiap tiga minggu sekali dan dievaluasi setiap tiga bulan. Lama poemberian obat dilakukan hingga dua tahun.

Biaya pengobatan dengan imunoterapi pun cukup mahal, yakni sekitar Rp30 juta hingga Rp40 juta untuk pemberian obat setiap tiga minggu sekali. Selain cukup mahal, metode tersebut juga belum ditanggung BPJS Kesehatan. Beda halnya dengan kemoterapi yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Metode imunoterapi tersebut juga semakin berkembang. Terbaru, ilmuwan dari Singapura pada Juni 2019 menemukan obat antibodi baru yang memiliki sebagai pengganti kemoterapi.

Ilmuwan yang tergabung dalam Agency for Science, Technology and Researchs Molecular and Cell Biology (IMCB) Singapura tersebut merilis PRL3-zumab. Antibodi yang sudah disesuaikan dengan manusia itu digunakan untuk menyerang sel kanker dalam tubuh.

PRL3-zumab tersebut menargetkan protein PRL-3, antigen tumor yang mendorong pertumbuhan kanker dan ditemukan pada sekitar 80 persen dari 11 kanker umum yang diteliti.

Penelitian mengenai kanker di Tanah Air juga perlu ditingkatkan. Disisi lain, pemerintah perlu memeratakan akses pada obat dan fasilitas kesehatan untuk penderita kanker.

Baca juga: Kenali penyebab, jenis dan pengobatan kanker paru-paru
 

Pewarta: Indriani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019