• Beranda
  • Berita
  • Akademisi ingin ubah persepsi Islam radikal tolak demokrasi

Akademisi ingin ubah persepsi Islam radikal tolak demokrasi

23 Desember 2019 23:27 WIB
Akademisi  ingin ubah persepsi Islam radikal tolak demokrasi
Suasana diskusi belajar toleransi dari guru bangsa di Kantor PBNU, Jakarta, Senin (23-12-2019). ANTARA/Abdu Faisal
Akademisi Boni Hargens menyampaikan keinginannya agar persepsi Islam radikal menolak demokrasi diubah oleh intelektual muslim.

"Di kepala orang konservatif masih ada yang berpikir bahwa Islam tidak cocok dengan konsep demokrasi. Persepsi itu harus kita bongkar," ujar Hargens dalam diskusi belajar toleransi dari Guru Bangsa di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Senin.

Hargens ingin intelektual muslim menjebol sekat-sekat pembatas antarumat beragama yang dibangun oleh segelintir orang yang ingin membangun citra Islam menolak berdemokrasi.

Pria asal Nusa Tenggara Timur itu mengatakan bahwa peran intelektual muslim adalah meluruskan kekeliruan-kekeliruan tersebut.

Ia lantas bercerita bahwa dahulu pernah mengajak mahasiswa dalam kelasnya di Universitas Kristen Petra yang mayoritas nonmuslim untuk studi banding ke pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama di Jawa Timur.

Awalnya, dia mendapat penolakan-penolakan dari orang tua mahasiswa yang merasa ngeri dan takut dengan keselamatan jiwa anaknya.

Namun, Hargens menjamin keselamatan mahasiswa tersebut, bahkan menandatangani surat pertanggungjawaban untuk meyakinkan orang tua mahasiswa sehingga studi ke pesantren terus berlanjut.

Baca juga: Bupati Aceh Barat: Umat Islam jangan mau diadu domba terkait agama

Baca juga: Aburizal dan Wiranto khawatirkan kebangkitan Islam radikal


"Kalau anak ibu tidak selamat, saya yang ditangkap, saya yang bertanggung jawab. Makanya, saya tanda tangani semua (surat pertanggungjawaban)," kata Hargens.

Setelah berangkat ke pesantren, kata Hargens, mahasiswa UK Petra berbahagia semua.

"Karena ada diskusi cerita soal keberagaman dan bertukar pengalaman. Mahasiswa-mahasiswa itu merindukan kegiatan itu ketika pulang ke rumahnya. Mereka selalu menuntut, Pak kapan kita ke sana lagi," katanya.

Begitu cara Hargens untuk menjebol sekat-sekat antarumat beragama.

Menurut dia, komunikasi yang terjalin antarumat beragama adalah warisan terbesar dari gagasan presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
​​​​​​​
Selama ini, kata dia, Islam Indonesia dicibir di banyak tempat.

Baca juga: Film baru Catherine Deneuve mengeksplorasi radikalisasi Islam

Baca juga: Jihad tak patut disanding dengan terorisme


Ia mencontohkan ketika pada era Gus Dur, Indonesia disebut ilmuwan Barat sebagai poros jahat (the exist of evil) dalam pandangan ilmuwan Barat soal benturan peradaban (clash of civilizations).

Padahal kasus radikalisme, menurut Hargens, hanya kasus yang dilakukan segelintir kelompok minoritas dari mayoritas kelompok Islam di Indonesia. Namun, pandangan segelintir para penganut konservatisme Islam, lanjut dia, memang sangat mengganggu.

Dosen yang juga menjabat sebagai Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini pun bersyukur karena pemikiran-pemikiran Gus Dur terus diperjuangkan NU dan Jaringan Gusdurian.

Menurut dia, pemikiran Gus Dur bukan hanya pemikiran individu, melainkan semangat yang harus terus dihidupkan bersama.

Karena dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, ada contoh kebesaran jiwa kelompok Islam untuk menjadi bagian dari kemajuan demokrasi.

"Terima kasih kalangan NU dan Muhammadiyah yang masih konsisten dan mempunyai kesadaran yang besar untuk menghidupkan semangat Gus Dur. Saya berterima kasih karena ketika itu mimpi saya, ternyata ada di kepala banyak orang juga," ujar Hargens.

Baca juga: Tokoh Lebak: kurikulum Islam moderat perkuat persatuan

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019