"Kita memang harus melakukan pendekatan infrastruktur, tapi ada pendekatan lain untuk masalah banjir yang harus kita lakukan yaitu pendekatan kultur," ujar pendiri Penerbit Komunitas Bambu itu ketika ditemui di kediamannya di Depok, Jawa Barat, Selasa.
Warga Jakarta harus belajar, ujar dia, bahwa mereka tinggal di kawasan yang harus mewajibkan hidup berbagi ruang dengan air.
Pemerintah Kolonial Belanda sudah melihat adanya permasalahan banjir di kota yang dulu disebut Batavia itu. Mereka kemudian memanggil Herman van Breen untuk mencari solusi banjir di Batavia.
Baca juga: Sejarawan sebut air dan Jakarta saudara tidak terpisahkan
Dia menelurkan ide untuk membuat Banjir Kanal Barat yang dimulai pembangunannya pada 1922. Dia sebelumnya membuat Pintu Air Manggarai.
Tapi, menurut JJ Rizal, van Breen kemudian mengoreksi kebijakannya setelah sistem kanal banjir yang dia cetuskan tidak mampu menanggulangi banjir. Selain permasalahan pemerintah kolonial yang tidak mau mengeluarkan dana untuk infrastruktur, pertumbuhan populasi Jakarta juga menjadi permasalahan.
Van Breen menyadari perlunya pendekatan kultur selain juga pendekatan infrastruktur untuk mengatasi permasalahan banjir Jakarta, yaitu menyadari bahwa Jakarta membutuhkan ruang untuk air.
"Persoalannya kita tidak mau memberi rumah lagi kepada air. Jadi kita selalu setiap tahun, kata teman Van Breen, Muhammad Husni Thamrin, dia bilang sudah pikiran kita teknis tapi kita pun membicarakan banjir hanya pada waktu musim hujan tiba dan kebanjiran," ujar Rizal.
Setelah surut dan musim hujan usai, orang-orang akan lupa mengenai fakta Jakarta membutuhkan ruang air yang besar, tegas dia.
Baca juga: Perubahan lahan dan daya resap DAS Jabodetabek
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020