Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Wahyu Setiawan memang resmi ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi terbaru yang terjaring OTT KPK.
Saat ditangkap, Wahyu sedang bersama asistennya berinisial RTO yang ikut menyaksikan peristiwa penangkapannya tersebut di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta Barat.
Wahyu disangka sebagai penerima suap proyek pergantian antar-waktu anggota DPR RI Fraksi PDI-P yang meninggal dunia Nazaruddin Kiemas.
Secara paralel, tim KPK pun menangkap orang kepercayaan Wahyu yang merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan juga mantan caleg PDI-P, Agustiani Tio Fridellina di Depok Jawa Barat.
Tim KPK juga menangkap pihak swasta berinisial SAE dan sopirnya berinisial I, serta seorang advokat berinisial DON di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Baca juga: KPK tahan Komisioner KPU Wahyu Setiawan
SAE dan DON disangka sebagai mediator yang ditunjuk tersangka lainnya yang menjadi pemberi suap kepada Wahyu yakni Politikus PDI Perjuangan Masiku Harun.
Harun disangka menyuap Wahyu agar Wahyu bisa mempengaruhi keputusan dalam rapat pleno komisioner KPU RI dan menunjuknya sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu legislatif terpilih dari PDI-P yang meninggal dunia Nazaruddin Kiemas.
Wahyu dinilai menyanggupi permintaan tersebut dengan memberi jawaban, "Siap, mainkan!"
Sebuah jawaban yang dinilai oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar bagai sebuah kode Wahyu menyanggupi untuk ikut bermain di dalam proyek tersebut.
"ATF (mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridellina) mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari SAE (Saeful) kepada WSE (Wahyu) untuk membantu proses penetapan HAR (Harun) dan WSE menyanggupi membantu dengan membalas, 'Siap, mainkan!'," kata Lili dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman menyebutkan koleganya, Wahyu Setiawan sedianya dijadwalkan melakukan penerbangan untuk tugas menyosialisasikan pemilu ke Belitung.
Wahyu memang jadwalnya melaksanakan tugas ke Belitung, kata Arief Budiman kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu (8/1) malam.
Tidak hanya Wahyu, kata dia, sejumlah komisioner KPU RI lainnya juga bertugas ke luar daerah, yakni Evi Novida Ginting diundang sebagai pemantau internasional pemilu di Taiwan dan Viryan Aziz yang berangkat ke Toraja.
Namun diketahui berdasarkan keterangan Arief, Wahyu tak sempat mengikuti jadwal penerbangan tersebut karena lebih dulu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK sewaktu masih di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Jakarta Barat.
Tidak ingat
Arief Budiman mengaku tidak mengingat kapan Wahyu pernah mendorong dipilihnya caleg PDI Perjuangan Masiku Harun sebagai anggota DPR-RI pengganti antar-waktu (PAW) dalam rapat pleno KPU RI pada 31 Agustus 2019 silam.
Namun, ia ingat jika saat itu semua peserta rapat bersepakat bahwa keputusan rapat adalah memilih Politikus PDI-P Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu almarhum Nazaruddin Kiemas.
Semua sepakat karena Udang-Undang mengatakan begitu, kata Arief dalam konferensi pers di Gedung KPK RI, Jakarta, Kamis malam.
Pemilihan Riezky Aprilia, alih-alih memilih Masiku Harun seperti keinginan PDI-P dikatakannya telah sesuai aturan yang berlaku, yakni supaya pengganti caleg terpilih yang tidak mampu menjalankan tugasnya adalah caleg peringkat suara terbanyak berikutnya.
Baca juga: KPU segera gelar rapat pleno tentukan nasib Wahyu Setiawan
Terkait putusan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019 yang menyatakan partai sebagai penentu suara dan PAW, Arief mengakui itu tidak dapat dijalankan karena berseberangan dengan Undang-Undang Pemilu.
Itu tidak mungkin bisa dijalankan, lanjut Arief karena Undang-Undang yang mengatur proses Pemilu tidak mengatur demikian. Kalau ada dituangkan dalam sertifikat berita acaranya.
Terkait benar tidaknya Wahyu Setiawan mengupayakan agar Harun Masiku yang dipilih menggantikan Nazarudin Kiemas, KPU memandang sengketa hasil pemilu hanya dapat digugat melalui Mahkamah Konstitusi.
Arief pun menegaskan kebijakan KPU RI menunjuk Riezky Aprilia terkait anggota PAW DPR RI tersebut sudah final.
Namun, SAE yang diklaim sebagai pihak swasta oleh KPK, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina (ATF), orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan caleg PDI-P untuk melakukan lobi agar Wahyu mengabulkan Masiku Harun sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu.
Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari SAE kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun.
WSE (Wahyu) menyanggupi membantu dengan membalas 'Siap, mainkan!, kata Lili menjelaskan kronologi kasus ini.
Minta Rp900 juta
Untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI PAW, Wahyu diduga meminta dana operasional mencapai Rp900 juta.
Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian, ucap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Pertama, lanjut dia, pada pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana memberikan uang Rp400 juta yang ditujukan pada Wahyu melalui Agustiani, advokat DON, dan SAE.
Wahyu menerima uang dari dari ATF sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, ungkap Lili.
Kemudian, pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang pada SAE sebesar Rp850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.
Baca juga: Wahyu Setiawan minta dana Rp900 juta bantu Harun Masiku
Lili melanjutkan, SAE memberikan uang Rp150 juta pada DON. Sisanya Rp700 juta yang masih di SAE dibagi menjadi Rp450 juta pada ATF, Rp250 juta untuk operasional.
Dari Rp450 juta yang diterima Agustiani, kata Lili, sejumlah Rp400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu, namun uang tersebut masih disimpan oleh Agustiani.
Pada Selasa (7/1) berdasarkan hasil rapat pleno, lanjut dia, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal..
Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi DON dan menyampaikan telah menerima uangnya dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.
Pada Rabu (8/1), ujar Lilu, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh ATF. Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan ATF dalam bentuk dolar Singapura.
Siapa DON dan SAE ?
DON dan SAE merupakan dua staf Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, demikian menurut cuitan dari Politikus Partai Demokrat Andi Arief di akun media sosial Twitternya @AndiArief.
"Miris saya mendengar kabar OTT komisioner KPU bersama Caleg Partai suara terbesar Pemilu. Lebih miris lagi kabarnya bersama dua staf Sekjen Partai tersebut. Sistemik?" cuit @AndiArief.
Belum dijelaskan secara rinci peran mereka berdua dan apakah ada instruksi dari orang lain terkait kasus ini atau tidak. Namun Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan saat penyidikan nanti nama-nama ini masih bisa berkembang ke nama-nama yang lainnya.
Baca juga: OTT KPK dikaitkan soal PAW, Hasto: PAW tak ada negosiasi
Lili menambahkan, itu nanti di penyidikan. Ini kan kalau dari penyelidikan ada, belum tentu orangnya cuma itu, bisa berkembang. Belum tentu kata-kata lolos atau jangan-jangan lagi ada bertambah. Tinggal di penyidikan nanti dikembangkan.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memastikan apabila informasi tersebut benar, yakni ada kader PDI-P terlibat dalam kasus suap tersebut maka partai tidak akan ikut campur.
Menurut Hasto, apa yang menjadi tindakan dari para anggota, kader partai, partai tentu saja ikut bertanggung jawab. Tetapi, ketika sudah menyentuh persoalan hukum partai tidak bertanggung jawab.
Penggeledahan kantor
Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P didatangi oleh sejumlah tim penyelidik KPK pada Kamis pagi.
Kepala Kepolisian Sektor Menteng Jakarta Pusat, Komisaris Polisi Guntur Muhammad Tariq mengonfirmasi kehadiran penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam gedung Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, Kamis.
Saat mengetahui ada penyelidik KPK di dalam kantor DPP PDIP dari Pengamanan Dalam gedung tersebut, saat itu juga ia langsung ke luar dari Kantor DPP PDIP tersebut.
"Di dalam ada penyidik KPK. Ya sudah saya ke luar," ujar dia berdasarkan keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.
Penyelidikan KPK tersebut diduga terkait pencarian alat bukti atas kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Wahyu Setiawan yang kabarnya ikut menjerat staf Sekjen PDIP berinisial DON dan SAE pada Rabu (8/1/2020).
Kapolsek Metro Menteng Jakarta Pusat Kompol Guntur Muhammad Tariq mengatakan jika penyelidik KPK mendapat halangan dari pengamanan dalam gedung saat ingin masuk dan melakukan penggeledahan.
Baca juga: KPK klarifikasi isu gagal geledah Kantor DPP PDIP
Guntur menjelaskan, tadi memang ada beberapa orang yang ingin masuk ke dalam, namun memang karena tak lengkap administrasinya, makanya tak bisa.
Ia menambahkan, informasi itu dia dapat dari laporan petugas yang melakukan pengamanan di sekitar Kantor DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang letaknya bersebelahan dengan DPP PDIP.
Karena penasaran, ia pun mendatangi sendiri lokasi untuk mengecek. Namun karena melihat di dalam ada penyelidik KPK, makanya ia hanya memantau dari luar saja.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan pelarangan itu tidak akan terjadi jika dilakukan sesuai mekanisme yang ada.
Ia mengatakan pihak keamanan hanya meminta adanya surat perintah untuk melakukan penggeledahan.
Sesuai mekanisme yang ada, lanjut dia, tanpa bermaksud menghalang-halangi apa yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi, pihaknya mengharapkan adanya surat perintah,.
Ketika mekanisme tersebut dipenuhi, yakni adanya surat perintah, Hasto memastikan jajaran PDI Perjuangan akan menaati sebagai upaya membantu tugas KPK.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar membantah tudingan tim penyelidik KPK itu tidak dibekali surat tugas dalam penyelidikan, karena menurut Lili, tim penyelidik hanya ingin mengamankan lokasi.
"Jadi, kayak model 'police line' tetapi itu 'KPK line', dan sebetulnya mereka dibekali dengan surat tugas dalam penyelidikan, itu lengkap surat tugasnya," kata Lili.
Namun karena pengamanan dalam gedung terlalu lama menghubungi atasannya, maka tim harus berbagi untuk mencari dan menempatkan 'KPK line' di tempat objek-objek lain sehingga kemudian dapat ditinggalkan.
Ia menambahkan, tim penyelidik KPK saat itu sebenarnya tidak ada rencana untuk menggeledah karena menurut dia penggeledahan hanya dilakukan pada tahapan penyidikan.
Namun, pantauan ANTARA di lokasi, kegiatan orang di dalam gedung cukup aktif bahkan beberapa kali ada mobil yang ke luar masuk halaman gedung yang terkunci.
Dua unit koper dan satu unit kontainer ikut dibawa pergi dengan mobil tersebut dari Kantor DPP PDI-P dan sempat diabadikan oleh pewarta foto di lokasi kejadian. Belum diketahui apa isi dari barang yang dibawa ke luar dari halaman kantor partai berlambang banteng bermoncong putih itu.
Namun, kabar tim KPK sedang melakukan penggeledahan di tempat itu sebenarnya sempat dibantah oleh pengamanan dalam gedung DPP PDIP. Salah satu pamdal mengatakan gedung itu tertutup untuk umum karena kegiatan sedang libur.
"Kami kunci karena hari ini libur. Itu saja," ujar salah seorang pamdal yang berjaga di pagar kepada wartawan.
Minta maaf
Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman meminta maaf atas penetapan komisioner KPU RI Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024.
Atas kejadian ini tentu pihaknya sangat prihatin. Ia menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Arief Budiman menuturkan pihaknya bersedia bekerjasama dengan KPK agar kasus tersebut dapat diproses dengan cepat sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Mereka bersedia apabila KPK membutuhkan keterangan tambahan, data-data, informasi dari KPU, maka akan membuka diri untuk bisa berkoordinasi dengan KPK,.
Seluruh jajaran KPU RI, provinsi dan kabupaten/kota diingatkannya agar lebih mawas diri, menjaga integritas dan bekerja dengan profesional.
Apalagi pada 2020, terdapat gelaran besar Pilkada di 270 daerah.
Baca juga: Ini kronologi tangkap tangan Komisioner KPU Wahyu Setiawan
Baca juga: KPK tahan Komisioner KPU Wahyu Setiawan
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020