Akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Hariadi Kartodihardjo menilai perlu adanya perimbangan antara omnibus law dan penataan kelembagaan di Tanah Air, baik pada tingkat kementerian/lembaga maupun pemerintahan daerah."Kelembagaan itu sebenarnya selama bertahun-tahun tidak pernah ditata, baik mengenai ukuran kinerja mereka, tugas pokok dan fungsinya maupun target yang harus dicapai. Jadi penataannya harus ke situ," kata dia dalam diskusi Catatan Kritis Lingkungan
"Kelembagaan itu sebenarnya selama bertahun-tahun tidak pernah ditata, baik mengenai ukuran kinerja mereka, tugas pokok dan fungsinya maupun target yang harus dicapai. Jadi penataannya harus ke situ," kata dia dalam diskusi Catatan Kritis Lingkungan Hidup 2020, di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan penataan kelembagaan itu benar-benar dibutuhkan, sebab saat omnibus law ada dan diterapkan, tentu mereka dibutuhkan sebagai pelaksana aturan tersebut.
Secara umum omnibus law merupakan undang-undang (UU) untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus, sehingga menjadi lebih sederhana.
Baca juga: Menaker : Pengembangan investasi, buruh harus diperkuat
Pada sisi lain, ia melihat akar persoalan atau polemik terkait omnibus law adalah keberadaannya yang diketahui secara mendadak sekali oleh publik.
"Saya lihat memang inisiatif presiden ini diketahui publik cukup mendadak, sehingga tidak ada waktu yang panjang untuk memastikan bagaimana sebenarnya cara untuk membereskan tumpang tindih peraturan pada level UU," katanya pula.
Namun, sebenarnya hal itu sekaligus merujuk pada isi positif dari omnibus law itu sendiri, yakni ingin memastikan agar tumpang tindih yang dikhawatirkan itu tidak terjadi, katanya pula.
Terkait polemik yang terjadi, menurutnya, solusi dalam artian teknis memang tidak ada. Namun, dari sisi sosial dapat dilakukan dengan membuka aturan tersebut sebaik-baiknya kepada publik.
Baca juga: Penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja capai 95 persen
Menurutnya, hal itu dilakukan agar publik dapat memberikan masukan yang otentik dan substansial, bukan administratif, sehingga melalui konsultasi publik yang sebenarnya tidak hanya mengandalkan satu proses saja, sehingga dapat diperoleh masukan-masukan penting.
"Ini harus jelas. Jadi ada pasal-pasal apa saja di dalamnya dan ada masukan dari kelompok-kelompok baik itu LSM, akademisi dan pihak terkait lainnya," katanya lagi.
Ia berpendapat, dari situ tentu dapat diketahui dan dipahami khususnya untuk situasi-situasi tertentu di lapangan dengan tata kelola yang buruk, pasal-pasalnya tidak dikurangi melainkan dilakukan penguatan dari sisi pelaksanaannya.
"Perlu penguatan, bukan hanya dari segi hukumnya. Namun juga dari sisi kelembagaan," ujar dia pula.
Baca juga: DPR: Omnibus Law sistem politik nasional tidak mudah
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020