"Saya tegaskan bahwa sebagai negara hukum, yang berhak menentukan sebuah kasus merupakan sebuah kejahatan atau bukan adalah lembaga yudikatif," kata Herman di Jakarta, Sabtu.
Hal itu dikatakannya terkait pernyataan Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang mengatakan bahwa peristiwa Semanggi I Semanggi II telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Herman mengatakan, legislatif tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah kasus Semanggi I dan Semanggi II apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak.
"Tapi sebagai lembaga politik, legislatif dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terkait hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat," ujarnya.
Dia menilai pernyataan Jaksa Agung tersebut merujuk kepada rekomendasi Pansus DPR pada tahun 2001, sehingga keputusan politik DPR pada periode tersebut bukan merupakan keputusan hukum seperti kewenangan yang dimiliki yudikatif.
Dia mencontohkan, pada tahun 2005, Komisi III DPR RI juga pernah merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti, Semanggi I dan II dibuka kembali.
"Jadi, rekomendasi DPR itu merupakan keputusan politik bukan merupakan keputusan hukum," katanya.
Dia mengusulkan agar Komisi III DPR RI membuat rapat bersama antara Jaksa Agung, Komnas HAM dan Menkopolhukam membahas kasus tersebut hingga tuntas untuk menghindari polemik lebih lanjut.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR pada Kamis (16/1) menjelaskan perkembangan perkara HAM berat.
Dia mencontohkan, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Lalu peristiwa dukun santet ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998 dan 1999, peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, peristiwa Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003 para pelaku telah disidangkan di pengadilan umum dan telah berkekuatan hukum tetap namun untuk kasus HAM berat penyelidik belum memeriksa dugaan pelakunya," katanya.
Dalam peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, menurut dia, alat bukti dan barang bukti dugaan pelaku belum terungkap.
Baca juga: Mahfud cari cara penyelesaian tragedi Semanggi I dan II
Baca juga: Komisi III hati-hati tentukan sikap terkait kasus Jiwasraya
Baca juga: Jaksa Agung jelaskan hambatan penyelesaian pelanggaran HAM berat
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020