Saat urusan perut mendobrak perasaan takut

20 Januari 2020 14:38 WIB
Saat urusan perut mendobrak perasaan takut
Tenda-tenda berdiri menjadi benteng terakhir masyarakat Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan bertahan menolak eksekusi lahan. ANTARA/Anggi Romadhoni/am.

Siang di akhir pekan, gumpalan awan mulai menghitam saat Nurman Hidayat tiba di tenda terpal biru perkebunan sawit plasma masyarakat Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan, Riau.

Lelaki paruh baya itu bergabung bersama puluhan warga lainnya yang terlebih dahulu berada di tenda disangga kayu-kayu kecil tersebut. Cuaca tak secerah sebelumnya seolah menggambarkan suasana kalut menyelimuti hati warga.

Sepekan sudah Nurman menghabiskan siang dan malamnya di sana. Tenda berukuran enam meter persegi yang hanya digunakan berteduh saat hujan. Di bagian belakang, ada kompor serta peralatan masak seadanya. Sepekan pula dia terpaksa meninggalkan istri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Langkah Nurman bukannya tanpa alasan. Dia harus melakukan itu karena kebun sawit seluas dua hektare yang selama ini menjadi pondasi ekonomi keluarga kecilnya, terancam ditebang paksa.

Nurman tak sendiri. Ada ratusan bapak dan pemuda desa melakukan hal yang sama. Mereka menyebar di beberapa tenda-tenda kecil kawasan perkebunan sawit Desa Gondai yang bermitra dengan PT Peputra Supra Jaya (PSJ).

Ketakutan Nurman semakin nyata. Saat ini sedikitnya lima alat berat dengan ganas menumbangpaksa perkebunan sawit lahan PT PSJ. Ratusan personel Polisi, Brimob, TNI, sekuriti serta petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan pengawalan. Hanya menunggu waktu, alat berat itu bergerak ke lahan milik masyarakat yang tanpa pilihan terpaksa melawan.

Penebangan pohon kelapa sawit itu dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018, Desember 2018.

Baca juga: Penyelesaian sengketa lahan sawit harus jadi prioritas pemerintah

Baca juga: Gubernur Aceh bahas dana bagi hasil sawit di Riau



Dikembalikan ke swasta

Dalam putusan disebutkan luas lahan yang dieksekusi mencapai 3.323 hektare. Menurut putusan juga disebutkan lahan itu dirampas untuk dikembalikan ke Negara melalui Dinas LHK Riau cq PT NWR. Rinciannya luasan lahan, milik petani sekitar 1.280 hektare, sementara sisanya milik bapak angkat, PT PSJ.

Eksekusi mulai dilakukan sejak Jumat (17/1) pagi kemarin. Hingga Ahad akhir pekan, kegiatan eksekusi masih berlangsung di kebun inti PT PSJ. Luasnya diperkirakan mencapai ratusan hektare. Sementara di titik luar kebun inti, Hidayat dan lainnya siaga bertahan.

Radisman, rekan Hidayat juga melakukan hal yang sama. Terlihat jelas raut lelah di wajah petani sawit berusia 51 tahun itu. Tatapan matanya kosong melihat ekskavator berbaris, hilir mudik menumbangkan satu persatu pohon sawit.

Radisman dan ratusan warga telah melakukan berbagai cara. Mulai dari mengiba, meminta belas kasihan kepada polisi yang berjaga agar eksekusi tidak dilakukan hingga melakukan perlawanan. Namun, semuanya sia-sia dan lebih memilih bertahan.

Kini mereka bilang, jika ada satu pohon sawit yang tumbang di lahan mereka, maka pertumpahan darah pun mungkin tak terhindarkan. "Ini urusan perut anak-anak dan keluarga kami. Satu pohon saja alat berat itu masuk ke kebun kami, maka kami siap mati," kata Nurhidayat diamini oleh warga lainnya.

Masyarakat Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, Riau bertahan dari upaya eksekusi lahan. (Anggi Romadhoni)


Perjuangan ratusan warga mulai mendapat respon dari wakil rakyat. Legislator Provinsi Riau Zukri Misran mendatangi Desa Gondai dan bertemu dengan masyarakat. Namun, Zukri sempat mendapat perlakuan kurang bersahabat dari anggota polisi yang mengawal kegiatan pemusnahan kebun sawit.

Kedatangan Zukri tidak diterima di lokasi eksekusi simpang empat Blok 90/95 kawasan perkebunan inti PT PSJ. Tidak hanya 'mengusir' Wakil Ketua DPRD Riau ini, polisi juga membubarkan konsentrasi ratusan warga yang berbondong-bondong datang ke lokasi eksekusi itu, mengikuti Zukri.

"Bubar semua! Yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke sini. Atas nama undang-undang, saya minta keluar dari sini! Lahan ini sudah dieksekusi! Jangan saya mengambil tindakan yang lebih tegas lagi! Pasukan, siaga semua. Tutup pintu masuk ke sini!," teriak Kasat Binmas Polres Pelalawan, AKP Adi Pranoto yang berusaha membubarkan massa.

Mendengar teriakan Adi, warga yang sempat berorasi sambil memampangkan spanduk, sontak bubar. Suasana mulai mencekam saat polisi mengamankan empat orang warga meski setengah jam kemudian dilepaskan.

Sebelum ke lokasi itu, Zukri sempat berkumpul dengan warga di tenda yang sengaja dipasang di simpang empat, sekitar tiga kilometer dari lokasi kejadian.

Kepada para anggota Koperasi Gondai Bersatu itu, DPRD Riau, kata Zukri, akan memanggil Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau (DLHK) terkait aksi eksekusi dan penebangan kelapa sawit tadi.

"Kalaupun dieksekusi, bukan berarti harus ditebangi. Banyak proses yang masih harus dilewati. Bisa saja lahan itu diamankan dulu, atau dikelola oleh BUMN atau BUMD. Kepada warga, saya berharap jangan terlalu terbawa suasana takut, kami akan memperjuangkan nasib bapak ibu," kata ketua DPD PDI-P Provinsi Riau itu.

Baca juga: Harga tandan buah segar kelapa sawit Riau naik Rp22,74 per kg

Baca juga: Harga TBS meroket, Polda Riau bentuk tim antisipasi pencurian sawit



Menyalahi regulasi

Kepala Seksi Penegakan Hukum DLHK Provinsi Riau, Agus yang memimpin kegiatan eksekusi itu mengatakan bahwa ada 3.323 hektar kebun kelapa sawit di sana yang dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pelalawan. Eksekusi, kata dia, berdasarkan putusan Mahkamah Agung nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018.

Dalam putusan, kata Agus, perkebunan sawit yang berdiri belasan tahun itu menyalahi regulasi karena masuk dalam kawasan konsesi tanaman industri. Dalam putusan juga disebutkan hamparan sawit itu akan dibumihanguskan untuk diserahkan ke PT NWR.

Namun, Agus membantah bahwa kegiatan yang dia dan ratusan personel gabungan itu lakukan merupakan eksekusi.

"Saya ingin luruskan, ini bukan eksekusi, tapi pemulihan dan penertiban kawasan hutan. Lahan ini masuk dalam kawasan konsesi PT NWR. Itulah makanya kita tertibkan, kita pulihkan menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), lantaran kawasan ini memang Kawasan Hutan Produksi," kata Agus.

Pada Jumat kemarin saja, tak kurang 10 hektare hamparan sawit rata dengan tanah. Usai ditumbangkan lahan itu langsung ditanami bibit akasia. Ratusan bibit akasia menyembul dibalik "bangkai" sawit yang tumbang tak berdaya. Lengkap dengan pupuk kimia.

Sementara itu, meski ada penolakan masyarakat, dia mengatakan aksi eksekusi tetap akan dilakukan. Walaupun, saat ini ada upaya peninjauan kembali (PK) ditingkat MA.

"Meski ada penolakan, putusan Mahkamah Agung tetap kita laksanakan. Upaya PK juga tidak menghalangi upaya ini," ujarnya.

Baca juga: Satu juta hektare sawit Riau nunggak pajak

Baca juga: Sawit Riau alami tren kenaikan harga karena stok dan faktor eksternal



Salah kaprah

Pakar hukum perhutanan Dr Sadino menilai bahwa penggusuran atau menumbangkan perkebunan sawit berdasarkan putusan MA adalah salah kaprah.

"Kalau itu yang menjadi putusannya, tidak ada sanksi bahwa lahan yang dikelola oleh perusahaan itu disita untuk negara, tapi selesaikan perizinannya, bukan digusur," katanya.

Yang membikin Sadino menjadi curiga, PT PSJ justru disebut berada di kawasan hutan. Sementara perkebunan sawit baik milik PT PSJ maupun milik masyarakat telah berdiri belasan tahun sejak medio 1998 silam. "Kenapa tidak dari dulu diberikan tindakan tegas. Tidak mungkin aparat tidak tahu ada yang menanam kelapa sawit di situ," ucapnya.

Kecurigaan Sadino semakin bertambah ketika direktur perusahaan Sugiono tidak dipidana, hanya didenda. Tapi lahannya disita. "Kalau orangnya tidak dipidana, mestinya persoalan ini dibawa ke perdata. Sebab persoalannya hanyalah sengketa hak," ujarnya.

Sadino kemudian mengulik lagi soal putusan yang ada. Bahwa lahan itu disita untuk dikembalikan kepada Negara melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau Cq. PT Nusa Wana Raya.

"Yang menjadi pertanyaan saya, lahan ini untuk siapa sih sebenarnya? Masa ada swasta di situ? Mestinya diserahkan saja ke BUMN atau BUMD, bukan ke swasta. Itu kalau kita mengikuti alur eksekusi tadi. Sebab kalau diserahkan kepada BUMD atau BUMN, plasma tetap akan terlindungi. Ingat, masyarakat punya hak konstitusi, lho," katanya.

Baca juga: Petani sawit swadaya Kuansing Riau raih sertifikasi RSPO

Baca juga: Produksi minyak sawit Malaysia turun picu naiknya harga sawit Riau



Upaya PK

Di luar dari segala macam penilaian para pakar, yang jelas saat ini ratusan petani sawit plasma yang tergabung dalam Koperasi Gondai Bersatu dan Koperasi Sri Gumala Sakti serta PT PSJ tengah melakukan upaya peninjauan kembali atas putusan MA.

Selain itu, kuasa hukum masyarakat dan PT PSJ Asep Ruhiat dalam keterangan tertulisnya mengatakan tengah menyiapkan gugatan perdata kepada pihak terkait.

"Kami tengah menyiapkan gugatan perbuatan melawan hukum secara keperdataan kepada pihak-pihak terkait yang dengan arogan membabat habis sawit yang sedang produktif," kata Asep.

Dia menambahkan terdapat ribuan jiwa yang menggantungkan hidup mereka di kawasan perkebunan PT PSJ. Pemerintah, kata dia, diharapkan mencari solusi pemecahan masalah ini.

Asep menuturkan perkara eksekusi ini berawal ketika PT PSJ dilaporkan oleh PT (NWR)a ke Mabes Polri terkait Izin Usaha Perkebunan (IUP). Pada sidang tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pelalawan, majelis hakim memutuskan PT PSJ tidak bersalah hingga bebas demi hukum.

Kemudian PT NWR melakukan upaya banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA) yang kemudian mengabulkan gugatan tersebut. Namun, demikian saat ini upaya PK tengah berlangsung.

Masalah lebih besar lagi jika pengajuan PK yang dilakukan oleh PSJ dikabulkan, maka menurut Asep negara justru bisa menanggung kerugian.

"Bagaimana dengan tanaman yang sudah dieksekusi jika ternyata PK dikabulkan? Hal ini yang harus dipertimbangkan," kata Asep.

Untuk itu, ia berharap semua pihak menahan diri, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau sampai ada putusan PK. Asep juga berharap para pakar dan pegiat lingkungan tidak membangun opini publik dengan tidak mengatakan yang berbau negatif.*

Baca juga: Apkasindo berharap kabinet baru selesaikan sengkarut kawasan hutan

Baca juga: Polisi dan KLHK selidiki karhutla perkebunan sawit Samsung-Wilmar

Pewarta: Anggi Romadhoni
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020