Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Syamsuddin Haris menyatakan bahwa UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK yang merevisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK memang bertujuan untuk melemahkan lembaga penegak hukum tersebut.Memang tujuannya melemahkan, saya hadir di situ (sebagai Dewan Pengawas) dengan niat seperti juga anggota Dewas lain karena punya komitmen yang sama yaitu menahan laju pelemahan KPK
"Memang tujuannya melemahkan, saya hadir di situ (sebagai Dewan Pengawas) dengan niat seperti juga anggota Dewas lain karena punya komitmen yang sama yaitu menahan laju pelemahan KPK," kata Syamsuddin dalam peluncuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Kamis.
TII pada hari ini merilis Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2019 dengan hasil naik 2 poin menjadi 40 dari tadinya 38 pada 2018. Indonesia pun duduk di peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei atau naik 4 peringkat dari tadinya peringkat 89 pada 2018 lalu. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Baca juga: Presiden Jokowi: UU baru KPK tidak melemahkan
"Revisi UU KPK itu cenderung melemahkan KPK, oleh karena itu publik harus mengawasi, jangan sampai pelemahan itu berujung pada hilangnya kemampuan KPK dalam memberantas korupsi. Dalam hal ini kami Dewas ya berupaya KPK itu bukan diperlemah tapi justru diperkuat," ungkap Syamsuddin.
Bagaimana cara Dewas mencegah pelemahan KPK tersebut? Menurut Syamsuddin caranya dengan mengerjakan tugas Dewas seperti dalam UU No. 19 tahun.
Tugas pertama adalah melakukan pengawasan terhadap tugas dan kewenangan KPK; kedua, memberi izin atau tidak memberi izin untuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan; ketiga menyusun kode etik bagi pimpinan dan pegawai KPK; keempat menerima pengaduan publik mengenai kode etik; kelima, menegakkan kode etik dan keenam mengevaluasi pimpinan dan pegawai KPK.
"Nah melalui kewenangan dan tugas yang dimiliki Dewas itu kami berusaha menahan laju pelemahan KPK, menahan laju pelemahan KPK yang diupayakan oleh partai-partai politik sebagaimana yang sudah kita ketahui selama ini," ucap Syamsuddin menegaskan.
Baca juga: UU KPK baru, Anita Wahid: Perlu kolaborasi gerakan berantas korupsi
Menurut Syamsuddin, meski Dewas memperpanjang birokrasi penindakan KPK, tapi menurut Syamsuddin dibalik tujuan pembentukan Dewas adalah untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja penindakan KPK.
"Supaya apa? Supaya jangan asal geledah, supaya jangan asal sadap, supaya jangan asal sita sebab selama ini juga banyak keluhan publik terhadap hal itu. Jadi Dewas itu mengawal kinerja KPK supaya lebih profesional, supaya lebih akuntabel, dan yang paling penting tentu saja sesuai dengan hukum," ujar Syamsuddin menjelaskan.
Selanjutnya Dewas menurut Syamsuddin masih merampungkan kode etik pimpinan.
"Mengenai kode etik kita sedang memfinalkan karena memang belum selesai tapi masih ada kode etik yang lama, selama kode etik yang ditugaskan UU belum selesai disusun tentu kita menggunakan yang lama. Saat ini kita menyusun SOP (standard operating procedure) yang sifatnya pengawasan berkala selama 3 bulanan jadi ada mekanisme pengawasan berkala beserta evaluasi kinerja secara berkala yang disepakati antara Dewas dengan pimpinan KPK secara 3 bulanan," ungkap Syamsuddin.
Baca juga: Wapres Ma'ruf nilai UU KPK tidak lemahkan penindakan korupsi
Baca juga: ICW nilai undang-undang baru terbukti perlambat kerja KPK
Baca juga: Dewas sebut dua OTT masih gunakan prosedur UU KPK lama
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020