Memburu Dingkis, "si emas hidup" jelang Imlek

24 Januari 2020 15:56 WIB
Memburu Dingkis, "si emas hidup" jelang Imlek
Nelayan menunggui kelong di Perairan Belakangpadang, Kota Batam Kepulauan Riau, Kamis (23/1) (Yunianti Jannatun Naim)
Ketenangan di Perairan Pulau Belakang Padang pecah, ketika seorang pengumpul, Basri (40) mendatangi satu per satu kelong di sana dengan pertanyaan yang sama "sudah ada?"

Kemudian, nelayan yang menunggui kelong akan mengacungkan jempol, atau melambaikan tangannya, sebagai jawaban.

Pada musim utara, sejak 4 hari menjelang Imlek, nelayan akan setia menunggui kelong. Mereka berjalan meniti kayu demi kayu, untuk melihat, apakah sudah ada ikan dingkis yang masuk perangkap. Kemudian sigap menutup pintunya, bila rombongan "emas hidup" memasuki kelong.

Emas hidup, ya, ikan dingkis memang ibarat emas hidup setiap jelang Imlek. Bagaimana tidak, harganya bisa melonjak hingga 10 kali lipat lebih. Bila pada hari-hari biasa dingkis hanya dihargai Rp30 ribu per Kg, maka menjelang Imlek, harganya di pasaran mencapai Rp400 ribu, bahkan sampai Rp500 ribu per Kg.

Menurut Basri, ikan dingkis memang lebih spesial setiap menjelang Imlek. Selain itulah masa ikan bertelur, baunya pun tidak amis, seperti biasanya.

Tidak heran bila kemudian masyarakat Tionghoa di pesisir Malaka percaya, mengonsumsi Ikan Dingkis saat Imlek akan membawa keberuntungan di sepanjang tahun berikutnya.

Dan itu pulalah yang menyebabkan harga Ikan Dingkis melonjak tajam.

"Orang China yang tahun baru, Orang Melayu yang dapat rezeki," kata Basri, tertawa.

Sayangnya, pada H-3 Imlek tahun ini, Ikan Dingkis masih sulit ditangkap. Belum banyak nelayan yang melapor untuk diambil ikannya.

Padahal pesanan dari Singapura mulai banyak.

Kamis (23/1) siang itu, usai meneguk air kelapa, Basri menerima telepon dari seorang pembeli ikan dingkis, untuk dikirim ke Singapura. Ia pun bergegas memasuki kapal, menelusuri selat demi selat di perairan tenang itu, mencari si emas hitam yang terjebak di kelong nelayan.

       
Nelayan menunjukkan hasil tangkapan ikan dari kelongnya di Perairan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau, Kamis (23/1). (Yunianti Jannatun Naim)


Bahagia

Seorang nelayan, Difri (60) berjalan pelan, meniti kayu demi kayu yang terpancang di atas laut, mengintai ikan-ikan yang masuk dalam perangkap kelong.

Kelong adalah alat perangkap ikan yang digunakan nelayan pesisir Kota Batam. Kelong biasanya dibangun dari kayu libung, kayu khusus yang berbentuk pipih, tapi kokoh.

Bentuk kelong menyerupai huruf Y. Bila rombongan ikan sudah memasuki mulut kelong, nelayan bersiap untuk menutup pintunya. Terdapat 3 pintu yang dilalui ikan, sebelum masuk ke dalam jaring-jaring nelayan.

Mengingat harganya yang tinggi, maka nelayan akan rela berjaga sepanjang siang di atas tiang-tiang kayu yang tingginya mencapai sekitar 2 meter.

Difri melambaikan tangannya begitu Basri datang, tanda tidak banyak ikan yang masuk ke dalam kelongnya.

"Hanya tige, payah betul ini. Sekarang nelayan mati. Kerja setengah mati penghasilan tak ada," katanya seraya berteriak.

Padahal, tahun sebelumnya, kelong Difri terkenal ramai. Sekurangnya 30 Kg ikan dingkis ditangkapnya, ia pun bisa mengumpulkan uang puluhan juta rupiah.

Kekhawatiran Difri beralasan, karena waktu yang tepat mencari Ikan Dingkis memang hanya 3 hari, yaitu tiga hari menjelang Imlek. Setelah itu harga akan turun drastis.

"Belum rezeki ini. Kalau mau hitung-hitung (mencari-cari) sebab, bisa banyak. Tapi yang pasti belum rezeki," kata dia.

Tidak seperti netizen Indonesia yang pandai mencari kesalahan pihak lain, Difri justru percaya benar, rezeki itu didatangkan Tuhan. Dia enggan mengambinghitamkan pihak lain, apalagi cuaca.

Begitu pula dengan nelayan Zulkifli, yang tetap sabar menunggui kelong dari serbuan si emas hidup.

Zulkifli lebih beruntung, setidaknya 3 Kg ikan dingkis berhasil masuk kelongnya. Basri dengan sigap menimbang, dan membayar sekitar Rp750 ribu. Tunai di atas kelong, jual beli yang ringkas dan cepat. Zulkifli senang, Basri pun bahagia.

"Kemarin lebih banyak. Mudah-mudahan besok dapat banyak lagi," kata Zulkifli.

Usai mengemas ikan, Basri kembali masuk ke dalam kapalnya, bergegas ke kelong berikutnya.


      
Pengumpul, Basri, menimbang ikan dingkis tangkapan nelayan di Perairan Belakang Padang Kota Batam Kepulauan Riau, Kamis (23/1). (Yunianti Jannatun Naim)


Lapak kelong

Di sekitar Perairan Belakangpadang, terdapat puluhan kelong. Perairan di-"lapak" sedemikian rupa, layaknya pedagang kaki lima melapakkan trotoar jalan, atau lapangan kala pasar kaget.

Menurut petugas Kelurahan Pecong, Zawawi, masyarakat di sana memang memiliki "lapak" di laut yang sudah turun temurun.

Ikan dingkis, kata dia, memliki jalur yang sama setiap tahun. Sehingga nelayan bisa memetakan, wilayah perairan mana yang cocok untuk kelong.

Meski diwariskan turun menurun, namun lapak ini bisa diperjualbelikan. Dan sesuai dengan hukum dagang, maka harga lapak yang berada di jalur strategis ikan dingkis akan lebih tinggi dibanding lapak lain.

Zawawi mengatakan, harga satu lapak kelong bisa mencapai hingga Rp70 juta. Hanya lapaknya saja, belum dengan membangun kelong.

"Tapi itu bisa balik untung, kalau dapat dingkis banyak," kata dia yang memiliki 2 lapak kelong aktif.

Memiliki lapak saja tidak cukup, karena nelayan harus membangun kelong dari ratusan batang kayu. Menurut Zawawi, kayu yang cocok menjadi kelong adalah kayu limbung.

Ia mengatakan, untuk membeli kayu dan bahan lainnya, nelayan bisa menghabiskan uang hingga Rp10 juta.


Menabung

Modal yang besar tidak masalah, karena hasil yang bisa didapat pun jauh dari pada itu.

Warga Pulau Pecong, Siti, mengatakan, Imlek adalah saat nelayan sekitar mendapatkan uang untuk menabung.

"Kalau hari-hari lainnya tetap dapat, tapi cuma cukup untuk makan hari itu. Saat inilah, kami bisa menabung," kata dia.

Biasanya tabungan digunakan untuk biaya anak sekolah, karena warga Pulau Pecong sadar, hanya dengan pendidikan mereka bisa merubah nasib.

"Sekolah di luar pulau," kata Siti melanjutkan.

Pulau Pecong merupakan pulau penyangga Kota Batam yang terletak di Kecamatan Belakangpadang. Mayoritas penduduknya adalah nelayan yang bergantung pada hasil laut.

Di luar Imlek, warga biasa mengumpulkan udang dan ikan lainnya. Hasil tangkapan dijual kepada pengumpul yang membawanya ke pelelangan di Pulau Belakangpadang. Dari sana, ikan dibawa ke Singapura.

Untuk kebutuhan sehari-hari, warga pulau-pulau penyangga biasa berbelanja ke Pulau Belakangpadang, atau langsung ke Batam. Terdapat satu pelayaran reguler setiap harinya dari Batam, Belakangpadang ke pulau-pulau itu, yaitu pagi untuk mengantar warga berbelanja, dan siang, untuk mengantar warga pulang kembali.
Baca juga: Ikan dingkis masih langka di Batam jelang Imlek
Baca juga: Bandara Hang Nadim dipadati penumpang jelang Imlek
Baca juga: Pergelaran Budaya Tionghoa meriahkan Imlek di Batam

Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2020