Ketidakberdayaan anak-anak dalam melindungi dirinya sendiri dari ancaman kejahatan, membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan, yang salah satunya kekerasan seksual.Kita bisa lihat di sini ada pola asuh yang salah dari lingkungan keluarga
Di sisi lain, teknologi dewasa ini terus berkembang dan maju. Teknologi diakui bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup manusia di Bumi. Teknologi juga membantu umat manusia mencapai kemudahan dalam berbagai aktivitas kehidupan.
Begitu pula dalam perkembangan teknologi telekomunikasi. Pada awalnya, dikenal handphone (telepon genggam) yang kemudian berkembang menjadi smartphone (telepon pintar). Kehadiran perangkat telekomunikasi canggih ini banyak membantu kehidupan umat manusia, terutama dalam berkomunikasi antarsatu dengan lainnya yang tanpa berjarak.
Kemajuan teknologi telekomunikasi bahkan sudah merambah pelosok negeri. Setiap rumah tangga tampaknya bisa dipastikan sudah memiliki smartphone.
Namun sangat disayangkan, ada pihak-pihak yang tidak bijak dalam penggunaan smartphone. Kemudian muncul korban-korbannya, yang tak lain anak-anak.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kapuas Hulu, Iptu Siko, menyatakan beberapa kasus tindakan asusila dengan korban anak di bawah umur di wilayah hukum setempat, karena pelaku meniru tayangan video porno yang ditonton dari smartphone.
"Dari keterangan para pelaku kasus asusila itu rata-rata akibat nonton film di media sosial," katanya saat dihubungi di Putussibau, beberapa waktu lalu.
Beberapa pelaku bahkan anak di bawah umur, dan ada pula oknum guru melakukan kekerasan seksual terhadap anak didiknya.
Polres Kapuas Hulu selama 2019 menangani tiga kasus asusila berupa kekerasan seksual pada anak, masing-masing di Kecamatan Hulu Gurung, Putussibau Utara, dan Kalis.
Pada Januari 2020, ada tiga kasus kekerasan seksual lainnya di Kecamatan Pengkadan dan Mentebah.
"Untuk kasus asusila (kekerasan seksual, red.) jika kita lihat cukup meningkat dan korbannya itu anak di bawah umur dengan status pelajar," jelas Siko.
Baca juga: KPAI: Anak harus dicegah jadi korban-pelaku asusila di media sosial
Selain beberapa kasus terbaru itu, dalam catatan ANTARA pada 2019, Polres Kapuas Hulu juga menangani sejumlah kasus lain, di antaranya menangkap tiga pelaku kekerasan seksual dengan korban pelajar perempuan. Peristiwa itu terungkap pada 16 Januari 2019. Dalam kasus ini, seorang pelajar diperkosa di rumah kosong oleh tiga laki-laki dewasa.
Kasus lain, yakni pencabulan dilakukan oknum kepala sekolah terhadap muridnya berusia delapan tahun. Peristiwa ini terjadi di Empanang, wilayah Kapuas Hulu. Polisi menangkap oknum pendidik tersebut pada awal Maret.
Dari kabupaten lain, polisi mengungkap pencabulan dengan korban pelajar berusia 16 tahun. Korban dicabuli pria berinisial SP alias Cing (20) di Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau.
Ironisnya, korban dicabuli saat pulang ke rumahnya setelah mencari lokasi sinyal operator telepon seluler, setelah dari ladang (lahan pertanian) orang tuanya.
Di pedalaman Kalbar terkadang orang harus pergi cukup jauh dari tempat tinggalnya guna mendapat sinyal, sebelum menggunakan telepon seluler.
Dalam beberapa kasus itu, polisi menjerat para pelaku dengan ancaman pidana sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ruang rubrik kriminal di sejumlah media akhir-akhir ini juga diramaikan berita kasus tindak asusila dengan korban anak di bawah umur dari berbagai wilayah. Pelakunya beragam, ada perkosaan oleh oknum guru terhadap muridnya dan ayah terhadap anak kandungnya.
Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, dalam rilisnya mencatat 36 kasus pelanggaran hak anak sepanjang Januari 2020. Dari 36 kasus itu, baik dalam bentuk laporan non-pengaduan maupun laporan pengaduan.
Ketua KPPAD Kalbar Eka Nurhayati Ishak menyatakan kasus pelanggaran hak anak yang dilaporkan masyarakat, antara lain kejahatan seksual, kekerasan fisik, penjualan anak, gizi buruk, perlindungan kesehatan, eksploitasi anak, dan narkotika serta zat adiktif lainnya.
Laporan masyarakat untuk wilayah yang terdata kasus kejahatan seksual terhadap anak, yaitu Kota Pontianak (5 laporan), Kota Singkawang (2), Kabupaten Sambas (5), Kubu Raya (2), Sanggau (5), Sintang (1), Kapuas Hulu (1), Melawi (1), dan Landak (1).
KPPAD Kalbar akan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat hingga 70 persen, mengingat semakin tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi dari tahun ke tahun, di mana pada 2017 KPPAD Kalbar menerima laporan 14 kasus kekerasan seksual, pada 2018 ada 11 kasus, pada 2019 dari 150 kasus anak-anak baik pengaduan maupun non-pengaduan, ada 19 kasus kekerasan seksual,17 di antaranya sudah selesai ditangani.
Selain itu, dalam catatan KPPAD Kalbar, ada lima kasus kejahatan seksual yang kini ditangani Kepolisian Daerah Kalbar dan 110 kasus ditangani Dinas Sosial Provinsi Kalbar, serta 42 kasus ditangani Polresta Pontianak. Kasus tersebut merupakan non-pengaduan ke pihak KPPAD Kalbar.
Baca juga: Pakar: Perlu ada sanksi pidana pelaku asusila
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar mengungkapkan pada Oktober 2019 telah melimpahkan ke kejaksaan satu kasus kekerasan seksual terhadap anak disabilitas, di mana pelakunya seorang pegawai negeri sipil (PNS).
"Untuk kasus itu sudah tahap dua sejak Oktober 2019 lalu," kata Kombes (Pol) Veris Septiansyah, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar, beberapa waktu lalu.
Veris menyebut korban merupakan anak disabilitas. Korban dibawa ke hotel dan disetubuhi tiga kali. Korban mengalami trauma dan tersangka yang berusia 53 tahun dijerat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kemajuan teknologi
Menanggapi semakin maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kalbar pada beberapa tahun belakangan, Direktur Persona Consulting Pontianak Yulia Ekawati Tasbita menyatakan salah satu pemicu terjadinya kasus tersebut adalah kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi yang juga sampai pelosok tidak diimbangi dengan bijaknya manusia atau penggunanya. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan tidak adanya kontrol penggunaan produk teknologi di kalangan anak.
"Mudahnya mengakses internet. Semua orang dari anak kecil sampai dewasa sudah biasa menggunakan smartphone, terkadang mereka kurang awas atau waspada, kurang bijak dalam penggunaan internet itu sendiri," kata psikolog itu.
Oleh karena kurang bijak itu, ucapnya, terkadang ada konten tertentu yang tidak terkontrol, berupa pornoaksi dan pornografi yang seharusnya tidak boleh dilihat anak-anak tetapi ternyata terlihat, sehingga mereka akhirnya menyerap informasi itu.
Padahal, menurut dia, anak-anak usia balita, masa golden age (masa emas) adalah masa penting mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangannya.
Namun, mereka sudah harus menyerap informasi yang tidak disaring. Ditambah lagi ada orang dewasa yang mengakses informasi pornoaksi dan pornografi melalui jaringan internet dan kemudian dibagikan, disebarluaskan.
"Pengguna internet yang anak-anak belum bisa berpikir secara tepat, masa reproduksi sedang tumbuh, meningkat, di sisi lain rasa ingin tahunya besar," kata dia.
Beberapa kasus tersebut, karena banyak remaja terpapar situs porno tanpa mereka sadari. Hal itu, menimbulkan hasrat atau keinginan meniru dan melakukan dengan orang lain, baik lawan jenis maupun mungkin dengan sesama jenis.
"Namun dalam beberapa kasus ada yang menjadi korban dan kemudian juga menjadi pelaku," kata dia.
Yulia mengambil istilah dari psikolog anak Elly Risman yang menyatakan "BLAST" yang dihadapi anak Indonesia dewasa ini, yakni kondisi anak mengalami boring, lonely, angry atau afraid, stress, dan tired. Anak dalam kondisi ini menjadi target pihak-pihak yang menyebarkan konten pornografi, kekerasan, dan narkoba.
"Kondisi itu dialami anak-anak yang aktivitas di luar ruangnya semakin berkurang. Jadwal sekolah cukup padat dan mereka merasa bosan. Paling gampang dilakukan adalah refreshing dengan membuka internet," katanya.
Saat membuka internet, yang dilihat konten-konten yang sebenarnya tak boleh mereka lihat. Kalau orang tua cerdas, mungkin bisa mengontrol anak-anak mereka, sehingga anak menjadi tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
"Namun yang menjadi masalah itu, kalau di daerah," katanya.
Baca juga: LPSK: Upaya negara lindungi anak masih diuji
Kekerasan seksual banyak terjadi di pelosok, karena mungkin orang tua tidak mengontrol anak-anaknya. Mereka pikir anak menggunakan smartphone itu sebagai hal biasa saja. Mereka juga tidak terlalu paham dan sibuk mencari nafkah untuk kehidupan keluarga.
Hal itu psikolog jumpai saat memberikan pendampingan korban kekerasan seksual di daerah, beberapa waktu lalu. Kasus yang banyak terjadi di kampung-kampung, ternyata berawal dari penggunaan telepon genggam.
Mereka tidak bisa mengontrol dan orang tua juga tidak mengawasi. Mereka benar-benar bebas. Alat reproduksi mereka masih berkembang, namun banyak terpapar pornografi. Jika salah arah, mereka bisa mencelakai siapa saja.
"Yang saya amati seperti itu ya. Karena memang banyak kasus itu justru terjadi di daerah, desa di pedalaman, walaupun di kota juga ada," imbuhnya.
Selain itu, pelakunya justru dari orang terdekat.
"Kita bisa lihat di sini ada pola asuh yang salah dari lingkungan keluarga," katanya.
Dari pengamatan itu, Yulia menambahkan kasus tersebut bisa terjadi, bagaimana kasusnya, siapa pelakunya, bagaimana kontrol atau perlindungan dari orang tua terhadap anak-anak itu.
Secara umum, lingkungan sangat memengaruhi, tetapi semakin majunya teknologi juga menjadi pemicu karena anak-anak banyak terpapar pornoaksi dan pornografi dari internet, sehingga prepare central hormone di sistem libido sudah tidak bisa dikontrol dan mereka merasa nyaman ketika menonton film pornoaksi dan pornografi.
Semakin banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak, membuat masa depan mereka menjadi mengerikan. Karena anak tidak mendapatkan lingkungan yang aman.
Setiap orang, menurut dia, berbeda dalam mengobati trauma di dirinya sendiri. Jika seorang anak tidak mendapatkan semacam rehabilitasi atau terapi luka batinnya, pasti akan terbawa hingga dewasa. Bisa positif atau negatif.
Jika setelah kejadian (kekerasan seksual) si anak (korban) mendapatkan pelecehan atau hukuman sosial, tidak mendapat dukungan dari lingkungannya, maka akan semakin membuat dia terpuruk. Anak tersebut bisa berkembang secara negatif karena mungkin menjadi pelaku.
"Dia semakin ada penguat di dalam dirinya bahwa aku (korban, red.) ini adalah korban pelecehan, korban perkosaan, jadi ya sudah. Karena lingkungan sudah mengecap si anak sebagai orang yang tidak baik," katanya.
Jika anak tersebut dalam lingkungannya selalu mendapatkan dukungan, motivasi, dan usaha supaya mau berdamai dengan dirinya, hal itu akan mengobati luka-lukanya. Artinya, mendapatkan lingkungan yang baik, akan lebih percaya diri dan bahkan menjadi berprestasi.
"Anak-anak yang menjadi korban saat balita dan remaja, pastinya punya cara berbeda dalam mengatasi traumanya dan pasti anak tersebut membutuhkan bantuan dari orang sekitarnya," kata psikolog itu.
Diperlukan peran orang tua untuk mengontrol lingkungan pergaulan anak sehingga tidak gampang terpapar pornoaksi dan pornografi.
Baca juga: KPAI: Pelaku pencabulan anak harus dihukum setimpal
Baca juga: Di satuan pendidikan pada 2019, KPAI catat 21 kasus kekerasan seksual
Pewarta: Nurul Hayat
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020