"Kita tidak menganut dwi kewarganegaraan. Jadi kalau mantan ISIS itu sudah membakar paspor Indonesianya, mereka adalah para pencari suaka. Perlakukan mereka selayaknya pencari suaka," kata Willy, di Jakarta, Senin, menanggapi rencana pemerintah yang akan memulangkan 600 WNI yang jadi kombatan ISIS.
Baca juga: Deputi BNPT: Tidak mudah deradikalisasi eks kombatan ISIS
Baca juga: Menilik arah kebijakan wacana pemulangan WNI simpatisan ISIS
Baca juga: Membentengi bangsa dari terorisme
Menurut dia, jika benar 600 orang Indonesia yang memilih membakar paspor Indonesia demi menjadi ISIS, maka tidak bisa pemerintah memperlakukan mereka sepenuhnya sebagai WNI.
"Mereka yang telah memilih menanggalkan kewarganegaraannya harus diperlakukan sebagai non WNI," jelasnya.
Willy menegaskan, pemerintah harus sangat hati-hati dalam mengambil langkah tersebut.
Menurutnya, terorisme adalah salah satu yang diperangi dunia secara global. Jangan karena mengembalikan mantan ISIS, malah Indonesia dituding menjadi penampung teroris.
"Dalih kemanusiaan untuk memulangkan eks-ISIS harus benar-benar diimbangi dengan kepentingan pertahanan dan perlindungan warga negara yang lebih luas. Gak bisa kita korbankan lebih banyak warga Indonesia demi mendapat label kemanusiaan dari 600 eks-ISIS," jelas politisi Partai NasDem ini.
Pemerintah, kata dia, harus mengkaji lebih dahulu kebijakan pemulangan para eks-ISIS itu.
"Pemerintah perlu menyeleksi siapa yang bisa diberikan suaka, dipulangkan karena masih berpaspor Indonesia, dan siapa yang harus ditolak masuk ke Indonesia. Setelahnya, semua eks-ISIS yang masuk harus dididik dan dilatih dalam program khusus antiterorisme dan radikalisme sebelum dikembalikan ke tengah kehidupan sosial masyarakat," ujarnya.
Oleh karena itu, kata pria yang memegang gelar master pertahanan ini, langkah pemerintah yang akan memulangkan WNI eks-ISIS harus memiliki perencanaan yang matang sebelum dieksekusi.
Ia menambahkan harus ada mekanisme dan syarat yang harus diikuti oleh mantan ISIS sebelum mereka bisa diberangkatkan ke Indonesia. Selanjutnya harus ada program pembinaan dan monitoring sebelum mereka dikembalikan ke masyarakat.
"Ini tidak kalah gawatnya dengan virus Corona. Treatment-nya juga harus extra hati-hati. Boleh jadi mereka yang memilih menjadi kombatan ISIS adalah korban propaganda, namun tidak menutup kemungkinan mereka juga adalah bagian dari propaganda ISIS. Karena itu upaya untuk mengikis dan menghilangkan paham atau dukungan terhadap violent extremism dari mereka yang datang ke Indonesia benar-benar harus holistik. Jangan kita membahayakan 230 Juta orang Indonesia demi 600 orang yang tega menanggalkan ke-Indonesiaannya," demikian Willy Aditya.
Baca juga: ISIS penggal 10 tawanan Kristen di Nigeria
Baca juga: Gerilyawan ISIS tewaskan 71 tentara Niger
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020