Menurut pemohon, yang dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian menyebabkan produk suretyship yang dikembangkan anggota pemohon secara potensial tidak dapat lagi dilakukan.
Baca juga: OJK: pengaduan klaim asuransi terbanyak terkait "suretyship"
Baca juga: Klaim asuransi banjir bisa sampai Rp3 triliun
Baca juga: AAUI: Nasabah mulai ajukan klaim asuransi terdampak banjir
Produk-produk tersebut di antaranya jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, jaminan uang muka, jaminan pemeliharaan, jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan.
"Padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar, baik di bidang konstruksi maupun nonkonstruksi," dalil pemohon.
Menurut Ketua AAUI Dadang Sukresna, sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak 1978, tetapi dalam perkembangannya suretyship tidak juga diatur secara eksplisit dalam UU Perasuransian.
Status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas, menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, tetapi perluasan tidak secara tegas menyebut lini usaha suretyship.
Sementara pemberian jaminan di Indonesia dilayani oleh industri yang berbeda-beda, yakni industri perbankan menerbitkan produk bank garansi, perusahaan penjaminan menerbitkan surat surety bond dan industri perasuransian mengeluarkan produk suretyship.
Untuk itu, AAUI meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian menambahkan dengan jelas lini usaha suretyship dalam ruang lingkup usaha asuransi yang dapat diperluas.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020