Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggarisbawahi perlunya dialog untuk menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel, menyusul proposal perdamaian yang diumumkan AS pada 28 Januari 2020.
Berbicara dalam pertemuan khusus Dewan Keamanan (DK) yang diprakarsai Indonesia bersama Tunisia, di New York, AS, Selasa (11/2), Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan kembali dukungan PBB terhadap solusi dua negara (two-state solution) dalam upaya rekonsiliasi Palestina dan Israel.
“Saya mendesak para pemimpin Israel dan Palestina untuk menunjukkan keinginan yang diperlukan untuk memajukan tujuan perdamaian yang adil dan abadi, yang harus didukung oleh komunitas internasional,” ujar Guterres seperti dikutip dari laman berita resmi PBB, UN News, Rabu.
Rencana untuk mengesahkan permukiman Israel di Tepi Barat dan Jerusalem Timur dan memungkinkan aneksasi wilayah di Tepi Barat, sementara Jerusalem akan tetap menjadi ibu kota Israel yang tidak terbagi, adalah salah satu usulan perdamaian yang ditawarkan AS dalam proposalnya.
Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah Nickolay Mladenov melaporkan bahwa proposal itu telah ditolak oleh pemerintah Palestina, Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam, dan beberapa anggota Uni Afrika.
Reaksi keras juga muncul di seluruh Tepi Barat yang diduduki Israel, dan di Gaza, tidak lama setelah proposal yang disebut Presiden AS Donald Trump sebagai “Kesepakatan Abad Ini” itu diluncurkan.
“Sama seperti langkah-langkah sepihak yang tidak akan menyelesaikan konflik, mereka yang menolak proposal tidak boleh beralih ke kekerasan. Itu akan menjadi respons terburuk yang mungkin terjadi pada saat sensitif ini, ”kata Mladenov.
"Memang, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan politik dan refleksi serius tentang apa yang perlu dilakukan untuk membawa para pihak kembali ke meja perundingan,” ia melanjutkan.
Mladenov menyatakan harapannya agar seluruh duta besar negara anggota PBB mendukung seruan Sekretaris Jenderal tentang perlunya solusi negosiasi untuk konflik dan keterlibatan konstruktif antara kedua pihak.
"Tidak ada kerangka kerja lain kecuali kerangka yang disepakati bersama oleh Israel dan Palestina, kerangka kerja berdasarkan resolusi PBB yang relevan, hukum internasional, dan perjanjian bilateral," kata dia.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan kepada DK PBB bahwa rencana AS tidak akan membawa perdamaian atau stabilitas ke wilayah tersebut karena membatalkan legitimasi hak-hak Palestina, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri.
Rencana itu juga akan menciptakan negara Palestina yang, pada dasarnya, akan terlihat "seperti keju Swiss", dengan begitu banyak permukiman Israel yang tersisa.
"Saya ingin menegaskan kembali bahwa rencana ini, atau bagian mana pun dalam rencana ini, tidak boleh dianggap sebagai referensi internasional untuk negosiasi", kata Abbas.
“(Rencana) itu ditolak oleh kami karena menganggap bahwa Jerusalem Timur tidak lagi di bawah kedaulatan negara Palestina, itu saja sudah cukup bagi kami untuk menolak rencana ini,” ia menambahkan.
Di sisi lain, Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon menganggap rencana AS menawarkan "pendekatan yang masuk akal" untuk mengatasi konflik yang telah berlangsung lama, karena semua upaya sebelumnya telah gagal.
“Apa yang berbeda dari rencana ini adalah menolak untuk menerima konsep-konsep usang dari rencana perdamaian sebelumnya yang sama. Rencana ini menolak untuk menerima bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik adalah dengan formula yang telah gagal selama lebih dari 70 tahun, ”katanya.
Lebih lanjut Danon mengatakan bahwa rencana tersebut merupakan persyaratan dari pendekatan realistis yang tidak takut untuk menggabungkan ide-ide inovatif untuk mengatasi masalah yang kompleks antara kedua belah pihak.
Baca juga: Prakarsai pertemuan DK PBB, Indonesia kedepankan perjuangan Palestina
Baca juga: Rancangan resolusi DK PBB tekankan kepentingan Palestina
Baca juga: Rancangan resolusi PBB kecam pencaplokan Israel dalam usulan Trump
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020