• Beranda
  • Berita
  • Tumbukan kerak benua dan kerak samudra di Natuna (bagian 1)

Tumbukan kerak benua dan kerak samudra di Natuna (bagian 1)

17 Februari 2020 09:02 WIB
Tumbukan kerak benua dan kerak samudra di Natuna (bagian 1)
Tanjung Senubing (ANTARA/Yuniati Jannatun Naim)

Usia batunya bisa mencapai ratusan juta tahun

Pemerintah menetapkan Natuna sebagai Taman Bumi Nasional, karena daerah itu memiliki situs warisan geologi dan bentang alam yang bernilai tak terhingga. Bagaimana tidak, susunan bebatuan besar di sana diketahui berusia hingga ratusan juta tahun yang lalu. Dan itu terbentang dari ujung utara hingga ujung selatan dari Pulau Bunguran, Pulau Senua, Pulau Akar dan Pulau Setanau.

Pemandu wisata dari Dinas Pariwisata setempat, Zuki Mardi menyatakan tema Geopark Natuna didasarkan pada proses pembentukan Kepulauan Natuna.

Ini terkait dengan proses tektonik regional "Double Arc System" atau dua zona tumbukan antara kerak benua dan kerak samudera.

"Usia batunya bisa mencapai ratusan juta tahun," kata dia.

Terdapat delapan lokasi di lima pulau itu yang ditetapkan sebagai Taman Bumi atau geopark, yaitu Tanjung Senubing, Taman Batu Alif, Gua dan Pantai Bamak, Tanjung Datuk, Batu Kasah, Pulau Akar, Pulau Setanau dan Gunung Ranai.

Setiap lokasi Geopark memiliki keunikan dan kecantikan masing-masing, yang dapat memukau setiap sudut mata memandang.
 
Tanjung Senubing (ANTARA/Yuniati Jannatun Naim)


Baca juga: Sail to Natuna promosikan kawasan wisata Natuna Geopark Nasional

Tanjung Senubing

Tidak cukup waktu sehari untuk menyusuri seluruh situs Taman Bumi Natuna, karena lokasinya yang tersebar di sebelah barat gugusan pulau itu.

Lokasi yang relatif paling dekat dari pusat kota, dan wajib dikunjungi wisatawan yang datang ke Natuna adalah Tanjung Senubing.

Kawasan yang dikenal dengan nama Batu Sindu hanya berjarak sekitar 4 Km dari Pusat Kota Ranai, di kaki Gunung Ranai, Kecamatan Bunguran Timur.

Untuk mencapainya, pelancong harus menaiki bukit terlebih dulu dari tepi jalan besar. Dan ini masih bisa menggunakan kendaraan roda empat dan dua dan kemudian turun menyusuri kaki gunung.

Belum ada gerbang wisata yang memadai di sana, hanya jalan setapak yang terbuka di antara pepohonan tinggi.

Dan begitu pelancong memasuki jalur itu, suguhan pemandangan indah tiada tara, di setiap sudut, terdapat banyak batu besar dengan bentuk dan keunikan masing-masing.

Batunya besar. Yang paling besar, mungkin tingginya bisa mencapai lebih dari 5 meter, dan terukir guratan-guratan yang tidak sama antara satu dan lainnya.

Menurut catatan, bebatuan di komplek itu membentuk morfologi unik, yang dikenal sebagai "tor" granit.

Dalam satu batu, terdapat gradasi warna putih, abu-abu, hitam, hingga merah kecokelatan. Beberapa di antaranya ditumbuhi rumput, dengan pohon hijau dan bunga merah di sekelilingnya, menciptakan pemandangan yang tiada tara.

Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang seperti batok kura-kura yang landai, kepala ikan hiu, belimbing, kapal terbalik dan berbagai macam lainnya.

Baca juga: Penetapan kawasan Geopark di Natuna disambut baik Pemprov Kepri

Pemandangan seperti ini akan memanjakan pelancong, dari ujung bukit, hingga ke bawah.

Dan dari sini juga, pelancong bisa melihat Pulau Senua berpasir putih, yang juga menjadi bagian dari Geopark Natuna.

Sebenarnya, dari atas bukit pelancong sudah dapat menikmati keindahan alam. Bagi pelancong yang tidak kuat turun menyusuri bukit, berada di atas saja sudah cukup sebenarnya.

Tapi, bagi yang kuat, maka setiap sudut perjalanan menuju ke bawah, menyuguhkan pemandangan luar biasa. Rasanya, di setiap helaan nafas, bibir ingin berucap syukur kepada Tuhan yang menciptakan alam dengan segala keindahannya.

Di sana, tidak ada tempat duduk untuk menikmati panorama. Namun, pelancong tidak perlu khawatir, terdapat banyak batu besar dengan permukaan datar, yang bisa dijadikan tempat berdiri, duduk, bahkan selonjoran.

Dan batu-batu datar seperti ini menghadap ke lansekap Tanjung Senubing. Tidak hanya satu, namun ada di beberapa sudut jalan menuju ke bawah.

Ibarat tribun di lapangan sepak bola. Tentu saja tidak seperti tribun benar, karena di antara batu-batu itu terdapat pohon, rumput dan ilalang.

Jalan menyusuri Tanjung Senubing hingga ke mencapai ke semenanjung relatif tidak licin, meski belum dibangun. Jalannya hanya setapak, tanah, bebatuan dan ilalang yang rubuh karena sering diinjak.

Namun, pelancong tetap tidak disarankan mengenakan sendal jepit, atau bahkan sepatu tinggi. Pilihlah alas kaki yang rasanya tidak membuat jalan licin.

Dan setelah pelancong berada di bawah, air laut yang jernih di semenanjung akan menjadi pelengkap perjalanan.

Sayang, karang-karang ikan di sana sudah mati. Padahal, semestinya, bila karang-karang itu masih hidup, keindahannya bisa dinikmati dari atas permukaan air, karena sangat jerih.
 
Tanjung Senubing (Yuniati Jannatun Naim)


Menurut Zuki, dulu masyarakat memilih jalan pintas untuk mengambil ikan-ikan di semenanjung itu. Mereka meracuni perairan dengan racun, agar ikan-ikan pusing dan lebih mudah ditangkap.

Sayangnya, racun itu tidak hanya membuat ikan keliyengan, namun terumbu karang ikut mati.

"Memang sedih sekali," kata dia.

Namun kini, kesadaran masyarakat Natuna sangat tinggi, mereka paling anti menggunakan alat tangkap ikan yang dapat merusak lingkungan.

Apalagi di Kawasan Tanjung Senubing telah menjadi salah satu Taman Bumi di Natuna.

Sebagai geopark, maka pemerintah akan mengembangkan kawasan itu secara berkelanjutan, dengan memadukan tiga keanekaragaman, yaitu geologi, hayati dan budaya.

Tentu saja, dalam pengembangannya, pemerintah akan berlandaskan pada aspek konservasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat dan penumbuhan nilai ekonomi lokal melalui geowisata.

"Dan pembangunan geopark ini terus berjalan," kata dia.

Baca juga: Natuna akhir 2019 diusulkan menjadi situs 'geopark' UNESCO
 

Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020