"Terjadi penurunan pemidanaan korporasi pada 2019, yaitu hanya 3 korporasi dibanding 8 korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2018 dan ini menunjukkan bahwa penegak hukum belum sepenuhnya 'concern' terhadap pemidanaan korporasi padahal karena aktor pelaku korupsi nomor dua terbanyak adalah swasta," kata peneliti ICW Wana Alamsyah di kantor ICW Jakarta, Selasa.
Wana menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers "Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2019".
Baca juga: KPK didesak tindak korupsi korporasi, Politikus PPP: Jangan main ancam
Salah satu kasus yang menjerat korporasi pada 2019 yaitu kasus dugaan korupsi kepengurusan anggaran Bakamla untuk proyek pengadaan satelit monitoring dan drone menggunakan APBN-P tahun anggaran 2016 yang ditangani oleh KPK dengan menetapkan PT Merial Esa sebagai tersangka
Penegak hukum juga belum mengefektifkan penggunaan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagai strategi mengoptimalkan pengembalian aset kejahatan korupsi dan pemiskinan pelaku korupsi.
Penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung, kepolisian dan KPK mengenakan pidana pencucian uang terhadap 3 kasus korupsi atau sekitar 1,1 persen dari total kasus yang ditangani. Sedangkan pada tahun 2018 penegak hukum dapat mengenakan pencucian uang terhadap 7 kasus korupsi atau sekitar 1,5 persen.
"Hal ini menunjukkan ketidakseriusan penegak hukum dalam menerapkan konsep 'asset recovery' dalam upaya memiskinkan pelaku korupsi agar menimbulkan efek jera. Bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang berencana memprioritaskan 'aset recovery'," tambah Wana.
Baca juga: KPK panggil Setya Novanto terkait kasus KTP-el
Baca juga: KPK periksa anak Setya Novanto saksi kasus KTP-el
Salah satu contoh kasus yang dikembangkan dan dikenakan pasal pencucian uang yaitu kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce yang melibatkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar.
"Dari angka perkara yang sudah masuk dalam tingkat penyidikan kita temukan 3 perkara di kasus TPPU yang asalnya korupsi. Bagaimana laporan-laporan yang selama ini disampaikan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)? PPATK suka melaporkan transaksi keuangan mencurigakan setidaknya sepanjang 2019 ada 253 laporan hasil analisis tapi kenapa hanya 3 yang jadi kasus TPPU?" kata peneliti ICW lainnya Tama S Langkun.
Pada 2019 dapat disimpulkan penegak hukum belum serius menerapkan TPPU, padahal ada banyak kemudahan dengan menerapkan pasal TPPU.
"Kita melihat adanya ketidakkonsistenan perkara TPPU, misalnya perkara Nazaruddin memakai TPPU, terakhir yang cukup besar adalah Setya Novanto, bagaimana kerugian triliunan rupiah dan perampasan asetnya belum jadi prioritas dan belum maksimal digunakan penegak hukum," tambah Tama.
Selain itu, pelaku korporasi juga tidak diproses meski sudah ada peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang mengatur soal hukum acara pemidanaan korporasi.
"Bagaimana korporasi berulang-ulang disebut dalam putusan pengadilan, kita harapkan bukan hanya orang yang diminta pertanggungajawaban pidana tapi bagaimana uang korporasi harus juga dirampas ini dan yang jadi pertanyaan mengapa perampasan aset lewat TPPU belum maksimal pada 2019?" jelas Tama.
Tama pun merekomendasikan revisi UU no 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kita melihat perkara-perkara tipikor ternyata ada delik yang benturan kepentingan pengadaan, perbuatan curang tidak dipakai padahal sejak 2001 sudah ada deliknya, di sisi lain menumpuknya aktor swasta yang tidak diproses sehingga perlu revisi UU Tipikor bagaimana suap sektor swasta langsung ditangani penegak hukum karena swasta dalam 3 tahun terakhir selalu masuk 2 besar yang diproses dalam kasus korupsi," tambah Tama.
Baca juga: MPR: Penegak hukum tingkatkan kompetensi pahami kejahatan korporasi
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020