Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mendesak PBB untuk segera turun tangan mengatasi masalah pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada Agustus 2009.apakah karena NTT jauh dari Jakarta sehingga tidak ada yang mau peduli
"Sudah 10,6 tahun kami berjuang menuntut keadilan, namun Australia dan Indonesia serta perusahaan pencemar sepertinya menutup mata dan telinga mereka. Kami minta PBB agar segera turun tangan menyelesaikan kasus pencemaran ini," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Kamis.
Apa yang dikatakan Tanoni dari YPTB ini merupakan surat terbuka yang ditujukan kepada Pemerintah Federal Australia, perusahaan pencemar PTTEP Australasia, Pemerintah Australia Utara, dan Pemerintah Indonesia.
Baca juga: Gugatan kepada Australia dalam kasus Montara sudah lama dipersiapkan
Baca juga: Rakyat NTT tuntut Australia 15 miliar dolar Amerika Serikat
"Rasanya kita ini seperti tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan, karena terus tertawa menyaksikan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) akibat terkena dampak dari pencemaran tersebut," katanya.
Jauh sebelum petaka tumpahan minyak di Teluk Meksiko, anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor meledak pada 20 Agustus 2009.
Ribuan ton minyak mentah tumpah ke laut mencemari hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor. Pemerintah Australia bekerja sama dengan PTTEP Australasia berusaha mengendalikan minyak tersebut selama 74 hari, namun hanya sia-sia belaka.
Baca juga: Timor Barat klaim kompensasi kasus Montara ke Australia di hadapan PBB
Baca juga: 10 tahun kasus Montara, di mana kepedulian Indonesia?
Australia dan PTTEP Australasia memompa ribuan liter Corexit 9500 dan 9572, dispersan yang sangat berbahaya untuk menghilangkan tumpahan minyak mentah itu ke dasar Laut Timor.
Minyak encer ini dinilai lebih mudah diserap oleh organisme laut sehingga menyebabkan keracunan sumber daya perikanan yang jauh lebih besar, seperti dalam kasus Exxon Valdez di Teluk Alaska, AS.
"Selama 25 tahun, kasus kesehatan masih terus mengancam masyarakat Alaska, karena mengkonsumsi ikan dan biota laut lainnya dari air laut yang sudah tercemar," kata Tanoni.
Dalam kasus pencemaran Laut Timor, tambahnya, hasil budidaya rumput laut yang dilakukan para petani nelayan, mati secara massal dan tangkapan ikan komersial pun anjlok hingga 85 persen.
Baca juga: Satu dekade kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor
Baca juga: Petani rumput laut Indonesia tuntut atas tumpahan minyak di Australia
Para nelayan yang dulu bahagia di Nusa Tenggara Timur, akhirnya jatuh miskin, dan sakit, karena pemerintah Australia dan Indonesia tidak mau mengambil tanggung jawab atas peristiwa besar yang menimpa Laut Timor pada Agustus 2009.
"Apakah karena NTT jauh dari Jakarta sehingga tidak ada yang mau peduli untuk bertanggungjawab? Ataukah Australia merasa malu jika kemudian ketahuan telah menyemprotkan zat berbahaya dispersant untuk menenggelamkan tumpahan minyak ke dasar Laut Timor," katanya.
Tanoni menegaskan semua kebiadaban yang dilakukan kepada rakyat NTT ini, telah ajukan ke Komisi Hak Hak Asasi Manusia PBB untuk mendapatkan sebuah tindakan segera yang adil.
Baca juga: Indonesia minta Australia duduk bersama selesaikan kasus Montara
Baca juga: Pengamat: kasus Montara jalan di tempat
Baca juga: Tim Advokasi Rakyat: ada empat pihak bertanggungjawab atas muntahan Montara
Pewarta: Laurensius Molan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020