Usai mengunjungi Tanjung Senubing (pada tulisan bagian 1), rasanya tidak ada lagi yang bisa menandingi keelokan kontur bebatuannya.
Tapi persepsi itu salah. Karena setiap situs di Taman Bumi Nasional Natuna memiliki daya hipnotis masing-masing.
Pemandu wisata dari Dinas Pariwisata setempat, Zuki Mardi menyatakan tema Geopark Natuna didasarkan pada proses pembentukan Kepulauan Natuna.
Ini terkait dengan proses tektonik regional Double Arc System atau dua zona tumbukan antara kerak benua dan kerak samudera.
Terdapat delapan lokasi di lima pulau itu yang ditetapkan sebagai Taman Bumi atau geopark, yaitu Senubing, Taman Batu Alif, Gua dan Pantai Bamak, Tanjung Datuk, Batu Kasah, Pulau Akar, Pulau Setanau dan Gunung Ranai.
Tanjung Datuk
Di Tanjung Datuk, pengunjung seolah diajak menjadi saksi dari proses keajaiban alam itu sendiri; pembentukan batu.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna, Hardinansyah menyatakan, bebatuan di Tanjung Datuk berupa batuan sedimen berlapis yang terbentuk di darat, sebagai endapan sungai purba.
Bebatuan di geosite yang berlokasi di Kecamatan Bunguran Utara itu berjenis batu pasir, konglomerat dan batulanau yang secara geologi termasuk dalam Formasi Pengadah berumur Oligo-Miosen.
Sebagian batu di sana sudah terbentuk. Hitam dan keras.
Namun, sebagian lagi masih berproses, dari pasir yang membeku. Mungkin butuh, beberapa ratus tahun lagi, sampai pasir itu menjadi benar-benar kokoh, menjadi batu yang kuat.
Meski belum sesolid batu, jangan bayangkan, pijakan di sana rapuh. Pasirnya sudah mengeras. Bahkan, jejak kaki tidak tidak akan nampak di sana.
Itulah keajaiban di sana. Batu setengah pasir itu membentuk relief yang menakjubkan, seakan dipahat dengan teknik tinggi. Pahatan Tuhan, sang pencipta.
Jejak bebatuan itu juga menyuguhkan warna-warni gradasi cokelat, hingga kuning, hitam, abu-abu.
Di sana, juga terdapat kolam-kolam kecil, yang terbentuk dari kikisan deburan ombak, yang mencapai hingga ke atas bukit bebatuan.
Belum lagi pantainya yang elok, airnya jernih dengan pasir putih. Khas sekali.
Dan tidak hanya keindahan alamnya, geosite Tanjung Datuk juga menjadi penting sebagai bahan edukasi sehubungan dengan proses pembentukan cekungan Natuna bagian barat dan timur yang kaya akan potensi minyak dan gas bumi.
Lokasi Tanjung Datuk memang relatif jauh dari pusat Kota Ranai. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk mencapai ke sana, dengan jalur yang relatif sulit.
Tapi, keindahan pemandangan di sana mampu menghapus semua letih yang hinggap.
Baca juga: Natuna usai observasi WNI dari Wuhan Pulau Akar
Di sisi selatan Pulau Bunguran, sekitar 40 menit dari pusat kota Ranai, terdapat satu lagi situs Taman Bumi Nasional, Pulau Akar.
Meski masih di lingkungan yang sama, tapi karakteristik Pulau Akar, berbeda lagi dengan Tanjung Senubing dan Tanjung Datuk.
Seperti namanya, ia merupakan sebuah pulau, terpisah dari pulau utama, Bunguran. Namun, untuk menjangkaunya, kita bisa melalui jembatan panjang sekitar 50 meter, yang terbuat dari susunan kayu.
Sudah terdapat gerbang besar, yang menyambut setiap pengunjung, di bibir pantai Desa Cemaga, Kecamatan Bunguran Selatan.
Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata setempat, bebatuan di pulau itu termasuk kelompok batuan beku basa (mafik) berjenis basal yang berasal dari kerak samudera dan berumur sekitar Kapur Awal (± 188 - 144 juta tahun
yang lalu).
"Paling tua," kata pemandu wisata Dispar Natuna, Zuki. Batuannya membentuk bongkah-bongkah besar berwarna hitam pekat hingga kehijauan.
Batu-batu di pulau seluas sekitar 250 meter persegi itu terkesan lebih tegas dan kasar, dibanding bebatuan di Tanjung Senubing dan Tanjung Datuk.
Menurut Zuki, batu-batu di sana retak akibat proses geologi. Dan yang menakjubkan, meski bebatuan, namun, pulau kecil itu juga ditumbuhi pohon-pohon yang ukurannya mungil.
Pulau itu juga sudah dilengkapi sejumlah infrastruktur pendukung. Pemerintah telah membangun jembatan yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lain, agar pengunjung mendapatkan spot foto terbaik.
Pemerintah, juga sudah mendirikan bangunan di sekitar sana. Meski belum difungsikan.
Baca juga: Pariwisata kepulauan Natuna akan dikembangkan seperti Guam, Hawaii
Pantai Batu Kasah berlokasi di Kecamatan Bunguran Selatan. Sekitar 30 menit dari pusat Kota Ranai. Sebelum mencapai Pulau Akar, Anda melewati Pantai Batu Kasah terlebih dulu.
Lokasinya relatif dekat dari jalan utama, di bibir pantai.
Karakteristiknya menyerupai pantai-pantai di Provinsi Bangka-Belitong. Berbatu-batu besar, yang menumpuk di tepian pantai.
Pantainya berpasir putih, dengan air yang jernih, sehingga kita bisa mengintip ikan-ikan kecil berenang di dalamnya.
Sepanjang bibir pantai, dihiasi batu-batu besar dengan bentuk berbeda, memudahkan pengunjung memilih spot terbaiknya.
Bagi mereka yang bernyali, dapat memanjat batu besar. Relatif sulit memang, karena batunya banyak menjulang tinggi, lurus. Nyaris tidak ada tempat kaki untuk menjejak.
Sejumlah pengunjung, menggunakan batang pohon kelapa yang rebah. Ada yang mendaki dengan meniti pohon kepala, ada pula yang duduk di atasnya, kemudian perlahan-lahan menanjak. Menjadikan tangan sebagai penopang untuk naik.
Jerih payah mendaki batu besar akan terbayar begitu sudah berada di puncak, mendapatkan pemandangan hamparan pantai, laut yang jernih dihiasi batu-batu besar. Tiada tara.
Menurut catatan Dinas Pariwisata setempat, komplek batuan granit Pantai Batu Kasah berumur sama dengan Gunung Ranai.
Pemandu wisata, Zuki bercerita, pantai itu memiliki legenda sebagai tempat para ksatria mengasah pedangnya.
"Karena itulah disebut Batu Kasah," kata dia.
Baca juga: Natuna diusulkan jadi kawasan khusus pariwisata, ini alasannya
Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020