Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Kirana Pritasari mengatakan anak yang mengalami kekurangan gizi rentan mengalami penyakit infeksi.Jika tidak bisa menangani empat hal tersebut, maka angka stunting sulit diturunkan,
"Untuk itu perlu dilakukan pemantauan kesehatannya melalui Posyandu," ujar dia di Jakarta, Rabu.
Dia menambahkan Posyandu merupakan tempat yang tepat untuk melakukan pemantauan kesehatan dan perkembangan anak. Hal itu dikarenakan Posyandu dapat ditemukan hampir di setiap desa.
Anak mengalami stunting (kekerdilan), lanjut dia dikarenakan empat hal yakni pola asuh, pola makan, sanitasi, dan layanan kesehatan.
Baca juga: Anak keluarga perokok cenderung kekurangan asupan gizi, kata peneliti
"Jika tidak bisa menangani empat hal tersebut, maka angka stunting sulit diturunkan," ujarnya.
Dia juga menjelaskan jumlah stunting di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Namun angka tersebut masih berada jauh diatas toleransi organisasi kesehatan dunia WHO.
"Tapi angka ini masih di atas toleransi WHO. Toleransi WHO untuk gizi buruk adalah 10 persen dan stunting 20 persen. Sementara kita masih 30 persen, di atas toleransi. Ini yang mengakibatkan penyelesaian masalah gizi jadi masalah nasional. Jadi jika misalnya balita kita 22 juta, kalau yang stunting 30,8 persen, jumlah itu lebih besar dari penduduk Singapura," terang dia.
Anggota komisi IX DPR, Intan Fauzi, mengatakan pentingnya peran edukasi dan sosialisai kesehatan untuk masyarakat. Terkait persoalan susu kental manis misalnya, edukasi langsung ke masyarakat perlu terus menerus dilakukan.
Baca juga: Peneliti ungkap faktor-faktor penyebab permasalahan gizi
"Sekarang sudah jelas ada regulasinya, sehingga produsen hingga distributor wajib menerapkan. Nah konsumen juga seharusnya sudah dapat memilah bahwa susu kental manis itu bukan termasuk kategori susu," jelas Intan.
Ketua Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat menyebutkan produk kental manis nyaris seabad diiklankan sebagai minuman susu yang telah mengakibatkan kesalahan persepsi pada masyarakat.
Masyarakat beranggapan produk yang mengandung gula 54 persen tersebut dapat diberikan kepada bayi dan balita sebagai minuman susu. Puncaknya adalah saat temuan balita menderita gizi buruk akibat mengkonsumsi susu kental manis di Kendari dan Batam, dan salah satunya meninggal dunia.
"Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan pada Oktober 2018, yang telah mengatur mengenai label dan iklannya. Sayangnya, pengawasan terhadap penerapan di lapangan masih belum optimal," ujar Arif Hidayat.
Baca juga: Peneliti: Waspadai masalah kekurangan gizi mikro
Pewarta: Indriani
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2020