"Intinya enam temuan yang cukup signifikan yang perlu segera ditindaklanjuti oleh pimpinan DPR dan Komisi I DPR," kata anggota III BPK RI Achsanul Qosasi di kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa pemeriksaan kinerja lebih mengarah pada ketaatan terhadap peraturan yang dibuat negara, Presiden, menteri, dan lembaga tersebut.
Temuan pertama, menurut dia, ketidakharmonisan di dalam peraturan UU yang memayungi TVRI dan RRI, PP Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI dan PP Nomor 12 tahun 2005 tentang LPP RRI.
"Pasal 7 Huruf d disebutkan 'Dewas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan direksi'. Namun, syarat pemberhentian tidak sesuai dengan Pasal 24 Ayat (4) yaitu tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, terlibat merugikan lembaga, dipidana dengan keputusan hukum tetap, dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi," ujarnya.
Baca juga: Komisi I minta Dewas TVRI hentikan proses seleksi calon Dirut
Menurut dia, Dewas TVRI membuat suatu aturan yang tidak sesuai dengan UU dan PP sehingga menimbulkan konflik dengan direksi.
Karena peraturan Dewas mengikat direksi sehingga direksi merasa itu tidak sesuai dengan PP. Selain itu, Dewas menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.
"Temuan kedua, dalam UU, Dewas merupakan jabatan non-eselon dan dalam ketatanegaraan kita cuma ada pejabat negara, pejabat struktural, dan fungsional. Dewas TVRI memoosisikan dirinya setara dengan menteri dan DPR RI," ujarnya.
Menurut dia, dalam praktiknya Dewas TVRI selain mendapatkan tunjangan transportasi Rp5 juta per bulan sesuai dengan Perpres Nomor 73 Tahun 2008 dan Perpres Nomor 101 Tahun 2017, Dewas menggunakan kendaraan dinas setara eselon 1 dan tiket penerbangan kelas bisnis.
Temuan ketiga, menurut dia, LPP TVRI dan RRI tidak memiliki pejabat pembina kepegawaian (PPK) secara mandiri, padahal sesuai dengan Pasal 42 disebutkan "Pembinaan PNS di lingkungan TVRI dan RRI dilakukan oleh direktur yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku".
Baca juga: Komite Penyelamatan TVRI apresiasi Suryopratomo mundur dari seleksi
Dalam kesempatan itu, pimpinan DPR yang menerima laporan BPK tersebut adalah Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyari, dan Teuku Rifky.
Berikut enam hasil temuan kinerja BPK yaitu:
1) Dewas mempunyai tugas mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi. Syarat pemberhentian sesuai Pasal 24 Ayat (4): tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewas. Namun, dalam praktiknya, Dewas menambahkan syarat pemberhentian Dewan Direksi melalui hasil penilaian kinerja (tidak memuaskan/tidak lulus). Berdasarkan pemeriksaan, penilaian kinerja kepada Dewan Direksi cenderung subjektif. Atas indikator-indikator yang pencapaian kinerjanya 100%, Dewas menilai bervariasi dan tanpa rumusan yang jelas. Selain itu, Dewas LPP TVRI menambahkan 10 indikator penilaian yang tidak tercantum dalam kontrak manajemen.
2) Di Pasal 18 Ayat (1) Dewas adalah jabatan non-eselon. Jabatan Dewas tidak diatur dalam regulasi apa pun selain PP 13/2005 dan PP 12/2005. Namun, Dewas LPP TVRI menafsirkan sendiri bahwa jabatan non-eselon adalah pejabat negara setingkat menteri, Ketua/Anggota KPK dan BPK. Selain mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp5 juta/bulan sesuai dengan Perpres No.73/2008 dan Perpres No.101/2017, Dewas menggunakan kendaraan dinas setara eselon I dan tiket penerbangan kelas bisnis.
3. Pasal 42 "Pembinaan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan TVRI dilakukan oleh Direktur yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku". Dalam praktiknya, LPP TVRI tidak memiliki Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) secara mandiri. Meskipun sebagai institusi pemerintah yang mandiri yaitu Direktur Utama LPP TVRI sebagai Pengguna Anggaran dan Pengguna Barang, namun PPK LPP TVRI adalah Menteri Kominfo. Hal ini mengakibatkan LPP TVRI tidak dapat melakukan pemenuhan kebutuhan PNS secara mandiri untuk mengantisipasi semakin banyaknya PNS memasuki usia pensiun.
4. Ketentuan dalam Keputusan Dewas LPP TVRI Nomor 2 Tahun 2018 tidak sesuai dengan PP Nomor 13 Tahun 2005. Dalam keputusan tersebut, Dewas LPP TVRI menambahkan ketentuan yang tidak diatur dalam PP 13/2005 antara lain:
a) Mengangkat tenaga ahli dan/atau membentuk komite untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewas. Padahal, sebelumnya Dewas dalam melaksanakan tugas dibantu oleh sekretariat yang secara administratif berada di bawah Dewan Direksi.
b) Mengajukan pertanyaan, mengakses data dan informasi, pemantauan tempat kerja, serta sarana dan prasarana. Hal ini menimbulkan tumpang tindih dengan tugas pengawasan yang menjadi tugas Satuan Pengawasan Intern.
c) Menetapkan besaran gaji dan tunjangan bagi Dewan Direksi. Padahal penghaslan Dewan Direksi LPP TVRI ditetapkan dengan Surat Menteri Keuangan Nomor 566/MK.02/2017.
Baca juga: Menkominfo: Baru TVRI yang ikut aturan penyiaran digital
5. Keputusan Dewas LPP TVRI No.2/2018 Pasal 16 "Wewenang Dewan Direksi yang memerlukan persetujuan Dewas" antara lain melakukan perjalanan dinas, adapun rinciannya pada Pasal 38 dan 39:
a) Perjalanan dinas dalam negeri maupun luar negeri Direktur Utama memerlukan persetujuan Dewas disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
b) Perjalanan dinas dalam negeri Anggota Dewan Direksi memerlukan persetujuan Direktur Utama disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
c) Perjalanan dinas luar negeri Dewan Direksi memerlukan persetujuan Dewas disesuaikan urgensi dan kepentingannya.
6. Keputusan Dewas LPP TVRI No.2/2018 Pasal 46 ayat (8) "Anggota Dewan Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila tidak dapat memenuhi kontrak manajemen. Padahal di aturan sebelumnya syarat pemberhentian Dewan Direksi jika hanya: tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan; terlibat merugikan lembaga; dipidana dengan keputusan hukum tetap; dan tidak memenuhi syarat sebagai Dewan Direksi.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020