"Saya ingin menyampaikan tanggapan saya kenapa peristiwa di istana negara itu saya lakukan, yaitu mengatakan 'Sebaiknya Pak Sesmen mundur' karena sebetulnya itu adalah akumulasi dari banyak hal termasuk saat di Istana Negara bapak tidak melaporkan ke saya tugas saya apa," kata Imam Nahrawi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan Sesmenpora Gatot S Dewa Broto sebagai saksi untuk Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ulum dalam dakwaan Imam disebut perantara penerima uang tersebut.
Baca juga: BPK temukan anggaran tak dapat dipertanggungjawabkan di Kemenpora
Baca juga: Bekas Menpora Imam Nahrawi disebut rotasi orang yang tidak kooperatif
Baca juga: Miftahul Ulum disebut bisa ubah agenda mantan Menpora Imam Nahrawi
Gatot mengaku bahwa pada 2 Oktober 2018 ia mendapat pesan dari asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum melalui whatsapp (WA) yang intinya mengabarkan "captionnya" WA antara Imam dan Ulum yang meminta Gatot mengundurkan diri karena dianggap gagal tidak bisa menghadirkan Imam sebagai orang yang melaporkan kegiatan kepada Presiden Jokowi sekaligus tidak menerima pataka (bendera lambang pasukan) dari Presiden.
"Ketika saya sampai istana negara, bapak malah 'enjoy' ngobrol dengan pejabat lain padahal bapak adalah Sesmenpora," sergah Imam.
Padahal menurut Imam, Gatotlah yang seharusnya memberi tahu tugasnya selaku Menpora saat itu.
"Yang mestinya memberi tahu tugas saya apa di sana, dan bapak tidak melaporkan itu," kata Imam keras.
"Saya pernah melaporkan ke bapak pada sebelum acara, tidak mungkin tidak melaporkan," jawab Gatot.
"Tidak pernah, saya mengingat betul laporan bapak itu setelah acara, dan itu pun setelah saya tegur karena memang kedekatan bapak dengan pejabat dan bahkan melupakan menterinya sendiri. Itu juga jadi penilaian saya," ungkap Imam.
Dalam perkara ini mantan Menpora Imam Nahrawi bersama-sama dengan asisten pribadinya Miftahul Ulum didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi tahun 2018.
Sedangkan dalam dakwaan kedua Imam didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016.
Selanjutnya penerimaan uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat.
Baca juga: Bekas Menpora Imam dan Sesmenpora Gatot silat lidah saat sidang
Baca juga: Nahrawi: Pencopotan Alfitra sebagai Sesmenpora karena temuan BPK
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020