"Misalnya Pasal 29 Ayat (1) huruf (a) yang menyebutkan hak cuti melahirkan dan menyusui bagi perempuan selama enam bulan," kata Augustina dalam taklimat media yang diadakan di Jakarta, Jumat.
Augustina mengatakan pasal tersebut akan tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, hak cuti melahirkan dan menyusui bagi pekerja perempuan adalah tiga bulan.
Selain tumpang tindih, Augustina menilai pasal tersebut berpeluang untuk menghambat peluang perempuan untuk berperan di ranah publik, misalnya karier. dalam pekerjaan.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga jangan abaikan peran perempuan
Menurut Augustina, pasal tersebut akan menjadi alasan kuat bagi kelompok yang berpandangan konservatif untuk mendorong perempuan untuk lebih banyak mengambil peran domestik.
"Pasal tersebut juga akan membuat perusahaan untuk tidak menempatkan perempuan dalam jabatan-jabatan strategis karena dia bisa cuti selama enam bulan. Bayangkan kalau dia melahirkan dua atau tiga kali," tuturnya.
Augustina mengatakan penelitian yang dilakukan LIPI menemukan bahwa ibu yang bekerja sama sekali tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
"Yang menjadi alasan terbanyak seorang ibu tidak memberikan ASI eksklusif adalah ASI tidak keluar, yaitu 62,7 persen. Alasan ibu bekerja hanya 6,1 persen," katanya.
Di sisi lain, RUU Ketahanan Keluarga juga berpeluang kontraproduktif karena seperti tidak percaya dengan kesetaraan gender dan terlalu mengatur ruang privat warga negara.
"Contohnya dalam pengaturan peran suami istri. Dalam konteks pembagian peran keluarga, pada dasarnya masing-masing keluarga memiliki strategi yang telah disepakati bersama," katanya.
Baca juga: Peneliti: RUU ketahanan keluarga pertarungan wacana di ruang publik
Baca juga: Wakil Ketua MPR: RUU Ketahanan Keluarga harus dicabut dari Prolegnas
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020