Omnibus law bikin buruh galau

6 Maret 2020 19:53 WIB
Omnibus law bikin buruh galau
Pekerja perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi di depan kantor Kementerian PPPA, Jakarta, Jumat (6/3/2020). Aksi yang dilakukan dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada Minggu (8/3/2020) tersebut menuntut agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah dihapuskan karena dianggap sangat merugikan buruh. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja menimbulkan reaksi beragam dari banyak kalangan. Ada yang setuju dan mendukung, ada pula yang menanti perkembangan selanjutnya, alias tunggu dan lihat (wait and see), dan tidak sedikit yang menentang atau menolaknya, terutama di kalangan buruh atau pekerja.

Omnibus berasal dari bahasa latin, artinya for everything. Maksudnya, satu peraturan perundangan mengatur banyak sisi terkait satu hal, misalnya, investasi, perpajakan dan lainnya.

Di Amerika Serikat aturan seperti itu dikenal dengan Omnibus Bill yang sudah diterbitkan sejak abad ke-19. Negara lain yang menggunakan praktik hukum seperti omnibus adalah Kanada dan Selandia Baru.

Di Indonesia, omnibus law adalah "barang" baru. Sebelumnya belum ada peraturan perundangan yang mengatur begitu banyak sisi.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan paket peraturan yang begitu luas. Terdapat 11 klaster peraturan perundangan dengan draft 1.028 halaman dengan dan jika satu halaman memuat rata-rata dua ayat, maka akan terdapat 2000-an ayat dalam RUU Cipta Kerja itu.

Undang-undang ketenagakerjaan menjadi salah satu dari klaster tersebut dan tercantum mulai di halaman 553. Pangkal kegalauan buruh dimulai dari halaman ini.

Buruh beberapa kali berdemo, baik di Jakarta dan sejumlah daerah menolak RUU tersebut. Penolakan dari kalangan lain tidak terjadi sebagaimana buruh menolaknya dengan keras, meski masalah ketenagakerjaan hanyalah satu dari 11 klaster di RUU Cipta Kerja.

Kalangan buruh sempat memberi julukan RUU itu sebagai RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja). Sebelum nama itu merebak lebih lebar, pergantian nama pun dilakukan dengan mengubahnya menjadi RUU Cipta Kerja.


Cipta lapangan kerja

Sejatinya, kata "Lapangan" lebih pas disematkan di omnibus law ini karena tujuannya memang memudahkan investasi yang ujungnya akan menciptakan lapangan kerja bagi anak bangsa.

Kalau dengan UU yang ada, cipta kerja bisa saja terjadi, tetapi dengan omnibus law maka yang tercipta bukan sekadar kesempatan kerja, tetapi lapangan atau peluang-peluang kerja yang membuat anak muda mudah mencari kerja sesuai bidangnya.

Namun, perubahan nama itu agaknya diperlukan agar plesetan "cilaka" tidak digunakan, meskipun di aktivis buruh tertentu tetap menggunakannya, lebih jauh lagi mereka memplesetkannya menjadi RUU Petaka (Peraturan perundangan Cipta Kerja).

Tiga konfederasi serikat buruh sepakat untuk mengaktifkan kembali Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) untuk melawan ketidakadilan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Salah satu konfederasi yang menolak adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nena Wea. Putera Jacob Nuwa Wea, mantan Menakertrans (Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi) Kabinet Gotong Royong itu, sedari awal sudah menyatakan penolakan.

Andi menolak karena tidak dilibatkan. Organisasi buruh lainnya juga menyatakan sikap yang sama.

Tradisi organisasi buruh/pekerja sudah lama tertanam bahwa jika ada permasalahan dan kebijakan perburuhan, termasuk penetapan upah minimum (sebelum ditetapkan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi), maka dibicarakan dan dibahas di forum Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit yang berunsurkan organisasi buruh/pekerja, pengusaha dan pemerintah.

Pembahasan draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak melalui proses itu. Buruh hanya menerima kenyataan bahwa draft itu sudah sampai ke DPR dan mereka baru bisa mengakses draftnya (biasanya soft copy).

Baca juga: Anggota DPD "jemput bola" aspirasi pekerja Bali soal RUU Cipta Kerja

Upah tak naik

Seminar, simposium dan diskusi tentang RUU Omnibus Law lalu marak terjadi, baik dari kalangan buruh, pengamat ekonomi, sosial, akademisi dan praktisi. Sebagian berdiskusi tanpa membaca isi RUU tersebut.

Salah satunya dalam suatu simposium, dimana dikatakan bahwa nanti upah buruh akan ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah, kata narasumber dari pemerintah. Buruh bertanya, berarti nanti ada buruh tidak naik upahnya karena pertumbuhan ekonomi daerahnya minus.

Narasumber mengatakan, upahnya tidak akan turun karena pertumbuhan ekonomi daerah minus, karena upahnya akan mengacu pada upah tahun sebelumnya. Peserta simposium dari buruh mengatakan, itu artinya upah buruh tidak naik, karena upahnya sama dengan tahun lalu.

Narasumber diam, peserta buruh lainnya bersorak.

Baca juga: Airlangga sebut pendirian PT bisa perorangan lewat Omnibus Law

Minus kepercayaan

Para perumus RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan mereka yang mendukungnya minta pada mereka yang menolak, terutama dari kalangan buruh untuk melihat, menyimak dan mengkaji terlebih dahulu RUU tersebut.

Jangan hanya asal bilang tidak saja, sementara isinya bisa saja lebih baik dari pada undang-undang yang akan direvisi. Khusus pada buruh yang bersuara keras, para pendukung mengatakan sesungguhnya undang-undang itu memberi kemudahan investasi, permasalahan buruh hanya satu dari 11 klaster.

Hanya saja pertanyaan, mengapa namanya Cipta Kerja jika pembahasan utama bukan tentang ketenagakerjaan. Mungkin maksudnya untuk menciptakan lapangan kerja setelah semua proses kemudahan investasi terbuka maka akan tercipta lapangan kerja yang luas.

Sementara asosiasi dari label RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah RUU tentang ketenagakerjaan yang memberi kemudahan, menciptakan lapangan kerja yang luas, upah yang layak dan manusiawi, jaminan sosial yang melindungi, sejahtera dan pensiun bermartabat. Untuk itu, semua aturan yang ada didedikasikan untuk menciptakan pekerja sejahtera tersebut.

Kenyataannya tidak demikian. Kata Cipta Kerja seakan dicatut untuk ditempelkan pada omnibus law yang tujuan semula untuk meemberu kemudahan investasi tersebut.

Di sisi lain, permasalahan sesungguhnya adalah krisis kepercayaan. Buruh hilang percaya ketika mereka tidak dilibatkan sejak awal pembahasan draft RUU. Setelah itu, apapun isinya sudah memunculkan anti pati.

Kondisi yang hampir sama pernah terjadi meskipun kondisinya tidak se-ekstrem RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Kalangan buruh pernah menolak dan menggagalkan peraturan perundangan yang merugikan buruh pada 2012. Mereka tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia.

Terbentuknya majelis ini memunculkan klaim bahwa mereka yang terbesar, beranggotakan 10 juta pekerja/buruh. Majelis ini terdiri dari tiga konfederasi besar buruh di Indonesia, yakni KSPSI, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Mundur selangkah

Alasan majelis itu dihidupkan karena mereka menilai menghadapi kekuatan besar. Tiga konfederasi dengan karakter dan cara perjuangan yang berbeda, menaggalkan ego untuk bersatu.

Ketua KSPSI Andi Gani yang selama ini nyata-nyata mendukung Jokowi sejak pencalonan gubernur DKI, bekerja sama dengan dengan KSPI Iqbal yang mendukung Prabowo. Kontras, tetapi demi kepentingan buruh mereka bersatu.

Jika lobi dan persuasi mentok, ketiganya sepakat untuk turun ke jalan menolak Omnibus Law Cipta Kerja, seperti yang pernah mereka lakukan dahulu.

Terlepas dari itu semua, berpihak kepada buruh atau pekerja merupakan suatu keharusan bagi suatu negara. Buruh adalah kelompok terbesar dalam suatu negara.

Saat ini diperkirakan 60 juta hingga 70 juta yang bekerja di badan hukum (badan usaha formal) dan 90 jutaan yang bekerja di sektor informal, termasuk petani dan nelayan di samping di usaha kecil dan mikro.

Jika dikaitkan dengan angkatan kerja, maka angkanya hingga 200 juta lebih. Membela mereka adalah suatu keharusan, mensejahterakan mereka adalah suatu keniscayaan karena kesejahteraan adalah salah satu alasan berdirinya suatu negara.

Karena itu, usul salah seorang anggota dewan untuk mengembalikan draft itu ke pemerintah untuk dibahas bersama dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) demi kepentingan bersama merupakan usul yang simpati, dan tak perlu ada yang kehilangan muka.

Mundur selangkah, lebih baik untuk kemajuan bersama.

Baca juga: Satgas Omnibus Law bantah pesangon pekerja hanya 17 persen

Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020