Pada kasus-kasus orang dengan penyakit ginjal kronis (PGA) atau istilah lainnya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA), ada tiga modelitas terapi yang lazim dilakukan dalam dunia medis atau kedokteran.RS-nya siap, dokternya siap, pembiayaannya juga siap.
Tiga modelitas itu adalah cangkok atau transplantasi ginjal, CAPD (Continuous Ambulatory Peritonial Dialysis) atau cuci darah lewat perut pasien, serta HD (Hemodialysis).
Di antara tiga modelitas itu, modelitas terapi cuci darah atau hemodialysis adalah pendekatan penanganan medis yang paling populer. Setidaknya ini berlaku dan terjadi di kalangan awam masyarakat (pasien) yang menghendaki cara instan penanganan kasus gagal ginjal akut yang dideritanya.
Organ ginjal yang selama ini memiliki peran penting dalam pembuangan racun, kadar garam berlebihan, dan urea (limbah mengandung nitrogen hasil dari metabolisme protein) tiba-tiba gagal berfungsi.
Urea ini yang secara teratur dibawa darah menuju organ ginjal untuk dibuang dalam bentuk urine.
Namun karena fungsi ginjal yang mendadak drop alias turun drastis, atau bahkan dalam beberapa kasus gagal fungsi sama sekali, kemampuannya dalam mengontrol racun dalam tubuh ikut menurun/hilang.
Kadar kreatinin (molekul limbah kimia hasil metabolisme otot serta konsumsi daging yang terbentuk dari keratin) meningkat.
Jika pada tubuh pria dewasa normal ada di rentang 0,6-1,2 miligram per desiliter (mg/dl) dan pada wanita dewasa normal di rentang 0,5-1,1 miligram per desiliter (mg/dl), pada kasus penderita gagal ginjal angkanya bisa naik hingga jauh di atasnya.
Kadar kreatinin yang tinggi ini menjadi pertanda adanya kerusakan pada organ ginjal.
Kondisi ini secara fisik bisa ditandai dengan munculnya gejala tubuh cepat lelah, lemas , demam tinggi, sakit kepala, sesak nafas, hingga pembengkakan di tubuh tertentu (seperti di lengan, kaki, wajah , perut dan mata).
Gejala klinis lain pada penderita PGA atau PGTA biasanya jarang berkemih atau jumlah urine berkurang, kencing darah (kencing berwarna merah pekat seperti teh), nyeri punggung atau pinggang hingga ke penurunan kesadaran atau pingsan.
Kalau sudah mengalami gejala klinis seperti itu, langkah-langkah kedaruratan medis memang seharusnya segera dilakukan. Pertama periksakan dulu ke dokter yang ahli menangani.
Tindakan kedaruratan medis pada tahap awal ini penting guna menghindari penderita mengalami kondisi kolaps akibat kadar racun dalam tubuh (darah) yang terlalu tinggi.
Umumnya, dokter yang mendapati pasien dengan kadar kreatinin tinggi dengan melakukan tindakan kedaruratan medis dialysis (cuci darah).
Terapi bisa pula dilakukan secara berkala jika kadar kreatinin kembali naik hingga melampaui ambang batas normal yang bisa ditoleransi.
Masalahnya, apakah terapi dialysis ini ideal dan menjadi satu-satunya solusi pada penanganan kasus pasien dengan gagal ginjal kronis seperti digambarkan tersebut?
Secara medis, sebagaimana dipaparkan oleh Tim Divisi Nefrologi dan Hipertensi RSU dr. Saiful Anwar Malang, dr. Ahmad Rifai, Sp.PD menyatakan, dari tiga modelitas terapi kasus gagal ginjal kronis, yakni cangkok atau tranplantasi ginjal, CAPD dan HD (dialysis), metode yang disebut pertama ia katakan sebagai yang paling baik.
Kesimpulan itu, kata dia, mengacu pada data statistik yang membandingkan angka survival dan rasio harapan hidup antara pasien gagal ginjal kronis yang melakukan terapi cangkok, CAPD dan dialysis.
Cangkok ginjal memiliki tingkat harapan hidup tertinggi dengan prosentase mencapai 86 persen untuk rentang survival selama 10 tahun.
Sementara CAPD dan dialysis secara berturut memiliki prosentase harapan hidup jauh lebih rendah, yakni sekitar 35 dan 32 persen.
Pada rentang waktu 10 tahun itu, angka harapan hidup pasien CAPD sedikit lebih baik ketimbang dialysis karena faktor komorbid (penyakit pemberat) lebih terkendali. Racunnya cenderung stabil.
Tidak ada naik tidak ada turun. Flat saja. Pasien lebih bebas makan, namun minumnya harus tetap dibatasi. "Ini dengan catatan pasien tidak memiliki faktor komorbid untuk konsumsi apapun," kata dr. Ahmad Rifai.
Coba bandingkan dengan metode dialysis, lanjut dia.
Dalam paparan yang disertai ilustrasi dalam sebuah seminar awam transplantasi ginjal di Kota Tulungagung itu, Rifai menggambarkan bahwa cuci darah memiliki banyak keterbatasan.
Misal kondisi kesehatan tubuh pasien penderita PGA atau PGTA yang cenderung naik turun. Tidak stabil. "Harapannya tentu masih lebih bagus CAPD, dan lebih bagus lagi cangkok ginjal," katanya.
Baca juga: Kemenkes ingatkan jaga pola hidup sehat peringati Hari Ginjal Sedunia
Cangkok Ginjal
Merujuk pada data statistik angka harapan hidup pada pasien cangkok ginjal yang jauh lebih panjang itulah, opsi transplantasi (ginjal) lebih direkomendasikan.
Apalagi dengan kondisi pasien PGK/PGTA di Jawa Timur yang begitu besar, sementara fasilitas layanan hemodialisis di rumah sakit-rumah sakit terbatas.
Di Malang Raya atau wilayah Jatim selatan bagian barat saat ini saja, diprediksi kasus PGK/PGTA mencapai 2.500 orang lebih.
Dengan jumlah penderita sebegitu banyak, lanjut dia, unit hemodialisis di RSSA Malang maupun rumah sakit-rumah sakit yang memiliki kapasitas dan unit pelayanan cuci darah tetap tidak akan mencukupi.
Di RSSA Malang, misalnya, dengan 50 unit sarana hemodialisis dan empat kali shift, pasien cuci darah banyak yang tidak terlayani untuk melakukan cuci darah.
Kondisi serupa terjadi di RSUD dr Iskak Tulungagung, dimana dengan 20 unit alat hemodialisis yang ada saat ini, dan kebijakan tiga kali shift (pergantian) 18 alat hemodialisis untuk pasien reguler (dua unit untuk pasien kasus darurat), yang tercatat sudah tertangani baru 162 pasien.
Selebihnya ada lebih dari 200 pasien masuk daftar tunggu.
"Untuk pasien (gagal ginjal) non-reguler mungkin lebih banyak lagi. Kami tidak tahu persisnya, karena biasanya ini tersebar di rumah sakit-rumah sakit (swasta) lain di luar RSUD dr. Iskak yang juga memiliki fasilitas layanan hemodialisis," ujar Kepala Unit Hemodialisa RSUD dr Iskak, dr Rina Melinda, Sp.PD.
Kondisi ini memaksa tim medis rumah sakit-rumah sakit, termasuk di RSUD dr Iskak dan RSSA Malang, untuk menyarankan pasien baru kasus gagal ginjal agar memilih opsi lain, yakni memasang CAPD (continuous ambilatory peritoneal dialysis) atau tranplantasi ginjal.
CAPD merupakan metode cuci darah mandiri dengan memanfaatkan selaput membran dalam rongga perut (peritoneum) pasien sebagai filter alami ketika dilewati zat sisa.
Pembiayaan Cangkok Ginjal
Kendati lebih efisien dan dinilai sebagai pilihan yang lebih baik ketimbang teknik hemodialisis (HD), CAPD dinilai masih memiliki risiko karena ketahanan fungsi membran perut ada batasnya.
Sehingga di antara tiga pilihan penanganan kasus gagal ginjal itu, secara medis opsi transplantasi ginjal merupakan pilihan terbaik untuk mencapai kualitas hidup lebih baik bagi pasien.
Hal ini dikuatkan oleh Direktur RSUD dr Iskak, dr Supriyanto, Sp.B, FINACS, M.Kes yang mengatakan transpalansi ginjal signifikan dalam meningkatkan angka harapan hidup pasien.
Menurut dokter Pri, demikian ia biasa disapa, antrian cuci darah di rumah sakit-rumah sakit tidak perlu terjadi jika pasien sejak dini mengambil opsi transplantasi.
Kendati biaya operasi transplantasi ginjal cukup besar, total di kisaran Rp250 juta hingga Rp300 juta.
Namun dengan skema pertanggungan BPJS Kesehatan yang menjangkau hampir 85 persen biaya, opsi cangkok ginjal menjadi sangat murah.
Memang ada beberapa biaya medis, seperti skrining dan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kondisi ginjal donor yang tidak terlayani BPJS Kesehatan.
Tapi itu pun kisarannya hanya sekitar Rp40 jutaan. Selebihnya, khususnya operasi transplantasi.
"RS-nya siap, dokternya siap, pembiayaannya juga siap. Tinggal (mereka) mau atau tidak," katanya.
Sedangkan untuk pasien yang menghendaki transplantasi ginjal ini, pihak RSUD dr. Iskak Tulungagung maupun RSSA Malang memastikan siap untuk memfasilitasi proses pengurusan administrasinya hingga pasien bisa naik ke meja operasi cangkok ginjal.
Penjelasan soal mana yang lebih baik antara cangkok ginjal, CAPD dan HD atau cuci darah ini juga disampaikan dua dokter spesialis nefrologi dan hipertensi RSSA Malang, yakni Kepala Divisi Nefrologi dan Hipertensi RSSA Malang, dr. Atma Gunawan, Sp.PD-KGH dan dr. Nursamsu, Sp.PD-KGH.
Dua dokter spesialis pada subbagian ginjal dan hipertensi ini merupakan bagian dari tim medis yang sejauh ini sudah sukses melakukan transplantasi ginjal ke-10 pasien gagal ginjal di RSSA Malang selama periode lima tahun terakhir.
Dan hasilnya, sebagaimana disampaikan dr. Nursyamsu dan dr Atma Gunawan, dari 10 pasien cangkok ginjal itu, sembilan di antaranya hidup sehat dan beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.
Sedangkan satu pasien mengalami resistensi sehingga harus kembali ke metode hemodialisis. Bukan karena proses transplantasi gagal, tapi lebih karena ada gangguan dan ada penolakan sistem imun tubuh pasien bersangkutan.
Baca juga: RSSA Malang sukses operasi cangkok ginjal pertama BPJS
Kondisi Setelah Donor Ginjal
Setelah cangkok ginjal, lazimnya akan terjadi perbedaan pada kondisi pendonor maupun penerima donor.
Namun pendonor tidak perlu cemas, sebab pada dasarnya manusia masih bisa hidup sehat dan beraktivitas normal walaupun hanya memiliki satu ginjal.
Kepala Divisi Nefrologi & Hipertensi RSU. dr. Saiful Anwar Malang yang juga Ketua PAPDI (Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia), dr. Atma Gunawan, Sp.PD-KGH mengatakan, ginjal manusia normal yang dipakai untuk kegiatan sehari-hari sebenarnya hanyalah 20 persen.
Sisanya yang 80 persen dari dua ginjal yang dimiliki manusia, adalah cadangan.
Fakta klinis itu menjadi keunikan organ tubuh pada manusia yang secara normal dan alamiah memiliki sepasang ginjal.
Sebab ketika satu dari dua organ ginjal ini diambil, lalu fungsi ginjal seolah tinggal 50 persen, maka yang 50 persen ini akan bertindak/fungsi menjadi optimal 100 persen.
Di sini tubuh pendonor akan melakukan penyesuaian. Pendonor juga masih dapat bekerja dengan baik dengan satu ginjal.
Menurut Dokter Atma, kasus penyakit akibat donor ginjal juga sangat kecil, hanya sekitar 1:10.000 kasus transplantasi ginjal.
Aktivitas fisik orang yang memiliki satu ginjal memang tidak bisa seberat orang yang memiliki dua ginjal.
Namun dengan pola hidup yang sehat, orang yang memiliki satu ginjal juga dapat hidup normal layaknya seperti sebelum menyumbangkan ginjalnya.
Setelah menjalani operasi, pendonor ginjal juga harus memeriksakan diri ke dokter.
Umumnya pendonor sudah dapat beraktivitas dengan normal setelah 4-5 minggu pasca operasi. Jika terjadi keluhan seperti rasa sakit dan tidak nyaman, segera memeriksakan diri ke dokter.
Baca juga: Abdee akui gagal ginjal gara-gara hidup tak sehat
Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020