Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan banyak cara yang menjadi pilihan negara sebelum memutuskan karantina wilayah (lockdown) untuk mencegah penyebaran virus corona baru (COVID-19)Nanti bisa menimbulkan krisis ekonomi, ongkos jauh lebih mahal. Lalu sumber daya, apakah cukup dana untuk membiayai warga yang diharuskan di rumah masing-masing
Mendagri Tito Karnavian di Palembang, Sabtu, setelah memimpin rapat kesiapsiagaan menghadapi penyebaran COVID, mengatakan sejauh ini pemerintah belum memilih karantina wilayah karena masih ada alternatif lain yang lebih efektif.
“Tokyo dan Seoul hingga kini tidak ‘lockdown’ tapi dapat membendung, di antaranya dengan ‘rapid test’ (tes cepat), banyak yang bisa dikerjakan dibandingkan skrenario 'lockdown' ini,” katanya.
Ia menjelaskan egara masih bisa melakukan hal lain selain karantina wilayah, seperti pembatasan sosial dalam semua kegiatan kemasyarakatan, penyemprotan disinfektan dan penggunaan cairan pembersih tangan.
Melalui upaya-upaya itu, Tito optimistis dapat menekan penyebaran virus corona, asalkan dibarengi dengan peningkatan edukasi ke masyarakat mengenai apa yang terjadi saat ini dan cara menanggulanginya.
Baca juga: Mendagri: Alat tes cepat COVID-19 akan dibagikan ke daerah
Ia menerangkan istilah "lockdown" menjadi familier di masyarakat setelah beberapa negara menerapkannya.
Di Indonesia, ia melanjutkan, sudah diatur mengenai ketentuan karatina yang mana negara membaginya menjadi empat jenis, yakni karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah (lockdown), pembatasan sosial skala besar secara masif.
Khusus untuk karantina wilayah, katana, negara menetapkan hal tersebut dapat diterapkan asalkan memenuhi beberapa pertimbangan, di antaranya tingkat bahaya, efektifitas, dan teknis pelaksanaan.
Selain itu, katanya, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sumber daya.
Terkait dengan hal itu, katanya, negara masih menilai karantina wilayah belum menjadi pilihan.
Tito mencontohkan Kota Jakarta yang dinilai tidak efektif jika menerapkan karantina wilayah karena memiliki banyak pintu masuk yang tidak bisa dikendalikan.
“Jakarta ini sudah menjadi megapolitan, sudah tidak ada batas lagi dengan Depok, Bekasi, Tanggerang, dan Bogor. Masalahnya, tidak dapat menutup Jakarta secara fisik karena masih banyak jalan tikusnya,” kata dia.
Tito tidak menyangkal bahwa pertimbangan ekonomi menjadi yang utama karena hampir 70 persen perekonomian Indonesia terjadi di Ibu Kota Negara, Jakarta.
“Nanti bisa menimbulkan krisis ekonomi, ongkos jauh lebih mahal. Lalu sumber daya, apakah cukup dana untuk membiayai warga yang diharuskan di rumah masing-masing. Ini yang jadi pertimbangan,” kata dia.
Sejauh ini, pemerintah sudah memastikan akan melakukan tes cepat dengan mengirimkan alatnya ke tiap-tiap daerah dalam waktu dekat.
Baca juga: Mendagri: Hentikan kerumunan massa
Baca juga: Mendagri minta kepala desa selesaikan APBDes untuk antisipasi COVID-19
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020