"Melihat kondisi belakangan, saya rasa trend peningkatan jumlah positif COVID-19 memang sangat mirip apa yang sudah dijalani beberapa negara," katanya dalam keterangan kepada ANTARA melalui WhatsApp, Jumat.
Baca juga: G20 lakukan "segala yang diperlukan" untuk perangi virus corona
Ia mencontohkan Italia yang sebulan lalu masih 650 kasus positif, namun hanya dalam 30 hari sudah meroket menjadi 70.000-an, sama juga dengan Amerika Serikat.
"Mohon maaf, sebagai teman, saya ingin memberikan saran agar diadakan kebijakan yang paling ketat untuk mencegah penyebaran virus itu. Ini pengalaman kami di Tiongkok dan bisa menjadi pelajaran juga," katanya.
Menurut dia, Indonesia saat ini masih belum terlambat, karena memang susah penanganannya, tapi Indonesia bisa memperoleh kesuksesan dengan biaya terendah bila memberlakukan kebijakan paling ketat.
"Tolong saling mengingatkan pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya gotong royong dalam perjuangan ini. Tindakan cepat sekarang akan menghindari bencana besar manusia esok dengan biaya terendah. Ini adalah pelajaran dan pengalaman Tiongkok," katanya.
Baca juga: Konjen RRT: 5000 warga Tiongkok masih di Bali
Diplomat senior itu menegaskan bahwa COVID-19 menyebar bagaikan kebakaran hutan pada musim kemarau. Jumlah kasus positif virus COVID-19 tumbuh secara eksponensial.
"Ekonomi global mungkin akan menghadapi tantangan paling berat sejak Depresi Besar pada 1930-an. Masyarakat seluruh dunia khawatir. Pada saat yang sama, media sosial penuh dengan ungkapan atau pernyataan yang bernada sindiran, serangan, makian, dan bahkan kebencian. Hal itu juga menyebar di Amerika dan Tiongkok, yang merupakan raksasa ekonomi dunia. Tentu, mengkhawatirkan," katanya.
Di tengah fokus dunia pada Amerika dan Tiongkok terkait itu, ada satu suara lain yang selalu menggema, yang disebut sebagai suara diam. Suara ini datang dari dalam benak masyarakat seluruh dunia yang menyerukan kerja sama Tiongkok dan Amerika Serikat.
"Sebagai seorang diplomat, setengah dari kehidupan saya, saya telah mengabdi untuk bidang diplomasi negara Tiongkok. Selama ini, saya telah ditugaskan di luar Tiongkok selama lebih dari 20 tahun dan akan pensiun beberapa saat lagi. Saya menangkap suara itu," katanya.
Namun, ia mempunyai ratusan alasan untuk mengungkapkan keoptimisan. "Pemahaman saya terhadap misi diplomasi adalah perdamaian dan kerja sama. Ini adalah hal yang harus dipelajari dan diingat oleh para diplomat saat mereka mulai bertugas. Saya percaya kebanyakan diplomat di dunia ini juga setuju," katanya.
Baca juga: Negara anggota G20 sepakat akan tingkatkan suplai alat kesehatan
Bagi mereka yang memahami diplomasi Tiongkok mungkin sering mendengar kata kunci "komunitas senasib sepenanggungan untuk seluruh umat manusia". "Masyarakat Tiongkok percaya bahwa"Hanya dunia yang baik, Tiongkok baru bisa baik," itulah tulisan Presiden Xi Jinping di Wall Street Journal, 22 September 2015.
"Meskipun 1,4 miliar warga Tiongkok baru saja bisa mengendalikan penyebaran wabah COVID-19, namun perang ini tidak akan ada kemenangan total jika negara-negara lain masih terkena wabah ini," katanya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa Jika virus bermutasi menjadi benih kebencian dan ketidakharmonisan, maka virus pada akhirnya akan mengalahkan manusia.
"Dunia menantikan kedua negara tersebut kembali menjalin kerja sama, menyatukan kepercayaan dunia dalam memerangi wabah COVID-19, mendukung negara-negara lain untuk mengatasi wabah COVID-19, dan mengendalikan semakin memburuknya perekonomian secara global," katanya.
Baca juga: Pemimpin G-20 fokus selamatkan nyawa manusia hadapi pandemi COVID-19
Baca juga: Presiden sampaikan Indonesia akan selalu bersama RRT dalam masa sulit
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020