"Kalau hasil pertama negatif, harus diulang tujuh hari kemudian untuk memastikan bahwa yang bersangkutan benar-benar tidak menderita COVID-19," ujar Yurianto kepada Antara di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu.
Peralatan tes cepat itu sendiri sudah disebar pemerintah pusat ke pemerintah daerah di Tanah Air. Jumlahnya, lanjut Yurianto, sekitar satu juta alat uji.
"Pemerintah daerah yang mengatur bagaimana penggunaannya," tutur dia.
Baca juga: Jubir pemerintah harap masyarakat tunda mudik karena COVID-19
Baca juga: Jubir Pemerintah: Hasil negatif tes cepat tidak jamin bebas COVID-19
Baca juga: Yurianto minta media beri pemahaman akurat COVID-19
Tes cepat dilakukan dengan memeriksa darah untuk melihat antibodi yang muncul jika seseorang terserang virus penyerang saluran pernapasan SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19.
Namun, jika belum ada gejala, tes cepat dapat menunjukkan hasil negatif karena antibodi tersebut belum keluar. Kondisi ini sering disebut dengan hasil negatif palsu.
Dalam jangka waktu satu pekan setelah tes pertama, seandainya terserang COVID-19, tubuh sudah mengeluarkan antibodi yang dapat dilihat melalui alat uji cepat. Kalau negatif, tubuh tetap tidak memproduksi antibodi tersebut.
Itulah yang menjadi alasan pemerintah menyarankan agar tes cepat dilakukan dua kali.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat hingga Sabtu (28/3), jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia mencapai 1.155 orang.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 59 pasien dinyatakan sembuh dan 102 meninggal dunia.*
Baca juga: Jubir: Penolakan pasien COVID-19 di RSUP RSPI karena kapasitas
Baca juga: Pulang kampung boleh asal metode benar, kata Yurianto
Baca juga: Yurianto: "Rapid test" cari terduga positif COVID-19 di masyarakat
Pewarta: Michael Siahaan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020