Perdebatan (seharusnya) berhenti sudah, ketika Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2018 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 telah diundangkan pada 31 Maret 2020.
Kata-kata lockdown atau darurat sipil sudah “tutup buku”. Isu yang menjadi sumber perdebatan yang menguras banyak tenaga dan pikiran dalam seminggu terakhir ketika di saat yang sama angka kematian akibat infeksi virus corona tipe baru di Indonesia menembus angka 136 jiwa (Selasa, 31/3) terpecahkan.
Seharusnya hanya istilah Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang kini terdengar dalam setiap pembahasan upaya percepatan penanganan COVID-19 di Tanah Air.
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang dimaksud Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Sedangkan arti dari Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
COVID-19 merupakan penyakit infeksi sistem penafasan yang disebabkan SARS-CoV-2 menjadi alasan keputusan penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di Indonesia.
Atas status itu, sesuai undang-undangnya, pemerintah melakukan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tersebut dengan memilih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PSBB, demikian Presiden Joko Widodo menyingkatnya saat memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Selasa (31/3), sebetulnya hanya satu dari empat opsi yang ada dalam menerapkan Kekarantinaan Kesehatan. UU Nomor 6 Tahun 2018 memberikan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai pilihan untuk melindungi masyarakat dari ancaman kesehatan.
Pemilihan opsi-opsi tersebut tentu tidak bisa dengan cara “cap cip cup kembang kuncup”, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
Bahkan untuk dapat menjalankan Karantina Wilayah dan PSBB, dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, tertulis harus ditetapkan oleh menteri.
Baca juga: Kemarin, pembatasan sosial berskala besar hingga penundaan Pilkada
Sementara dalam PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19, disebutkan dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.
PSBB dapat diusulkan oleh gubernur, bupati dan walikota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Dan menteri yang akan menetapkan PSBB dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dapat pula mengusulkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk menetapkan PSBB di wilayah tertentu. Jika menteri telah menyetujui usulan tersebut, maka kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakannya.
Kriteria PSBB
Dalam PP yang diperuntukkan bagi percepatan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia terdapat kriteria penetapan PSBB. Pada Pasal 3 huruf (a) disebutkan, jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan (b) terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Dalam catatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Rabu (1/4), pukul 12.00 WIB, jumlah kematian tertinggi akibat infeksi SARS-CoV-2 terjadi di DKI Jakarta dengan total 85 jiwa, diikuti Jawa Barat mencapai 21 jiwa dan Banten mencapai 14 jiwa.
Selanjutnya angka kematian di Jawa Timur mencapai sembilan jiwa, Jawa Tengah mencapai tujuh jiwa, Sulawesi Selatan mencapai lima jiwa, sementara Sumatera Utara ada tiga jiwa.
Baca juga: PP atur pemda dapat lakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dari Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan tercatat masing-masing ada dua angka kematian akibat COVID-19. Sementara di Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Papua Barat mencatat masing-masing satu angka kematian akibat infeksi SARS-CoV-2 tersebut.
Sehingga total angka kematian akibat virus yang pertama merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, tersebut mencapai 157 jiwa di 1 April 2020.
Pada saat yang sama penyebaran virus terjadi di 32 provinsi, dan jumlah pasien yang positif COVID-19 mencapai 1.677 jiwa.
Cara PSBB
Dalam Pasal 4 PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 disebutkan bahwa pelaksanaan Kekarantinaan Kesehatan tersebut paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pembatasan kegiatan harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk. Selain itu, harus dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Mahfud MD sebut PSBB sudah mencakup semua ide
Baca juga: Kapolri siap laksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Sosiolog sekaligus dosen di Universitas Indonesia Imam B Prasodjo mengatakan pada praktiknya PSBB lebih longgar jika dibandingkan dengan karantina wilayah atau lockdown. Sebagai contoh meskipun sekolah atau tempat kerja diliburkan, namun orang-orang masih bisa lalu lalang.
"Karantina wilayah itu dalam praktik ekstremnya atau perbedaan yang paling nyata misalnya masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar-masuk dari wilayah yang dikarantina," katanya.
Sebenarnya, menurut dia, saat ini sebagian masyarakat sudah ada yang menerapkan karantina tersebut, namun masih dalam lingkup kecil. Sebagai contoh karantina di suatu kelurahan maupun perumahan, yakni orang-orang tidak boleh keluar-masuk.
"Jadi pembatasan sosial skala besar itu bukan per wilayah tapi per unit kegiatan," ujar dia.
Dalam PP tidak disebutkan perihal sanksi jika PSBB tidak diindahkan. Namun dalam Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Baca juga: MPR dukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Defriman Djafri mengatakan physical distancing dan self-isolate sebenarnya sangat efektif selama ini mengatasi pandemi berdasarkan pengalaman di China.
“Tapi memang karakter masyarakat kita susah diatur dan saya kira di sini peran kepala daerah harus tegas dan memberi sanksi tegas juga. Bisa memberdayakan Satpol PP, polisi atau militer sekaligus. Seperti di Malaysia, saat ini sudah ada sanksi mencapai sekitar Rp1 juta jika keluar rumah dan penjara enam bulan, di Spanyol denda bisa sampai Rp9 juta hingga Rp10 juta,” ujar dia.
Kini tinggal menunggu inisiatif kepala daerah dan persetujuan Menteri Kesehatan dan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, wilayah mana yang akan memulai PSBB agar secepatnya mampu memutus mata rantai penyebaran virus corona tipe baru tersebut.
Tentunya tidak berhenti pada penetapan PSBB saja, harus dilanjutkan dengan melakukan tes cepat massal pada masyarakat yang berisiko, isolasi dengan cepat mereka yang positif COVID-19 agar tidak menyebabkan penularan lagi pada yang lain, perbanyak suplai ventilator untuk membantu yang pasien, siapkan rumah sakit-rumah sakit yang berdedikasi baik melayani pasien COVID-19 di berbagai daerah guna melawan pandemi.
Baca juga: Presiden keluarkan PP dan Keppres terkait kedaruratan kesehatan
Presiden putuskan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020