• Beranda
  • Berita
  • Peneliti: Perlu kajian berbasis bukti untuk tentukan tarif cukai

Peneliti: Perlu kajian berbasis bukti untuk tentukan tarif cukai

2 April 2020 12:53 WIB
Peneliti: Perlu kajian berbasis bukti untuk tentukan tarif cukai
Petugas kantor Bea dan Cukai memeriksa dan mendata cairan rokok elektrik (Vape Liquid) disalah satu outlet penjualan di Blitar, Jawa Timur, Kamis (19/7). Mulai 1 Oktober mendatang, Bea Cukai akan memulai menerapkan tarif cukai produk tembakau alternatif kategori hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) terhadap Vape Liquid sebesar 57 persen. (ANTARA /Irfan Anshori)

Produk tembakau alternatif di Indonesia saat ini dikenai tarif cukai tertinggi sebesar 57 persen. Tarif ini dinilai menambah beban bagi industri produk tembakau alternatif di tengah ekonomi yang tengah lesu, apalagi ditambah dampak dari pandemi COVID

Partner of Tax Research & Training Services DDTC Bawono Kristaji menilai perlu kajian berbasis bukti dari sisi kesehatan terkait risiko produk tembakau alternatif sebagai dasar untuk memberlakukan tarif cukai untuk produk tersebut dan juga memberi kepastian berusaha bagi pelaku industri.

Berbeda dengan Inggris dan Korea Selatan yang otoritas kesehatannya sudah mengkaji hal tersebut sehingga menerapkan tarif cukai yang lebih rendah, di Indonesia dunia medis sendiri belum punya kata sepakat atas munculnya berbagai produk alternatif yang diklaim punya risiko kesehatan lebih rendah itu.

"Masih menunggu riset berbasis bukti," ujar Bawono dalam pernyataan yang diterima Antara di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Tembakau alternatif butuh regulasi proporsional

Produk tembakau alternatif di Indonesia saat ini dikenai tarif cukai tertinggi sebesar 57 persen. Tarif ini dinilai menambah beban bagi industri produk tembakau alternatif di tengah ekonomi yang tengah lesu, apalagi ditambah dampak dari pandemi COVID-19.

Menurut Bawono, Indonesia bisa saja mengikuti langkah negara lain yang memberlakukan tarif cukai lebih rendah untuk produk tembakau alternatif, apabila memang produk alternatif ini terbukti lebih baik dan memiliki eksternalitas negatif lebih rendah.

Jika tarif cukai produk tembakau alternatif tetap lebih tinggi dibandingkan rokok konvensional, akan ada beberapa dampak negatif yang mungkin muncul.

Pertama, harga produk tembakau alternatif menjadi kurang terjangkau untuk konsumen, sehingga konsumen tetap mengonsumsi produk yang lebih berbahaya.

Kedua, tidak ada insentif yang mendorong pabrikan-pabrikan untuk berinovasi dan memproduksi produk tembakau alternatif yang lebih baik.

Ketiga, maraknya produk tembakau alternatif ilegal karena produsen (pabrikan) tidak mau mendaftarkan diri karena cukainya begitu tinggi.

Oleh karena itu, ia menilai perlu ada kajian lebih lanjut terkait aspek kesehatan produk tembakau alternatif.

Selain itu, ke depan pemerintah perlu menyusun standardisasi teknis terkait produk yang diklaim memiliki risiko lebih baik. Misalnya, panduan komposisi bahan baku, produk yang tidak melalui proses pembakaran, atau kewajiban produsen melakukan registrasi.

Baca juga: Tarif naik, Bea Cukai Sumbagtim fokus awasi peredaran rokok ilegal

Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menyusun kategori sendiri untuk produk alternatif yang memiliki risiko lebih rendah dalam sistem tarif cukai.

"Sebaiknya tidak setinggi sekarang, dan menggunakan sistem tarif cukai spesifik, sama seperti produk kena cukai lainnya," ujar Bawono.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020