Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) sekaligus pengamat hukum dan kebijakan publik, Ariyo Bimmo, menyatakan produk tembakau alternatif perlu diatur dalam regulasi khusus yang proporsional sesuai dengan profil risikonya.Indonesia harus mengatur produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, melalui regulasi yang terpisah dari regulasi rokok
Berdasarkan data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), jumlah pengguna produk tembakau alternatif di Indonesia diperkirakan mencapai satu juta orang pada Desember 2019. Menurutnya, aturan ini harus berbeda dengan aturan rokok, berdasarkan informasi tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Rabu.
"Indonesia harus mengatur produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, melalui regulasi yang terpisah dari regulasi rokok. Pemisahan regulasi perlu dilakukan karena produk tembakau alternatif memiliki kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya yang jauh lebih rendah daripada rokok," kata Bimmo.
Bimmo melanjutkan, sebagai langkah awal, pemerintah perlu mendorong kajian ilmiah dalam negeri yang melibatkan pakar kesehatan, akademisi, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan adanya kajian ilmiah, publik, terutama perokok dewasa, dapat memperoleh informasi yang akurat dan teruji mengenai produk tembakau alternatif sebagai dasar pembuatan kebijakan.
"Hasil dari kajian ilmiah nantinya dapat menjadi landasan pembuatan regulasi yang proporsional sesuai dengan profil risikonya. Selain itu, bukti dari kajian ilmiah tersebut sekaligus untuk meluruskan pandangan yang keliru terhadap produk tembakau alternatif di masyarakat. Saat ini, masih banyak yang beranggapan bahwa produk tembakau alternatif sama berbahayanya dengan rokok, padahal tidak. Faktanya, produk tersebut memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok," ujar Bimmo.
Baca juga: Industri produk tembakau alternatif butuh regulasi, kata anggota DPR
Baca juga: Pakar ingatkan perlunya regulasi khusus atur tembakau alternatif
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah melakukan kajian tentang rokok elektronik yang tampaknya berujung pada rekomendasi untuk melarang produk tersebut.
Wacana tersebut menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat. Setidaknya ada tiga kelompok yang muncul dalam perdebatan tersebut, yaitu kelompok perokok yang menghisap rokok biasa, kelompok pengguna rokok elektronik, dan kelompok yang menentang penggunaan kedua jenis rokok tersebut.
Kelompok perokok yang menghisap rokok biasa cenderung tidak ambil pusing dengan wacana tersebut. Mereka yang masih setia dengan rokok biasa, biasanya lebih sensitif dengan isu kenaikan cukai yang berarti akan menaikkan harga rokok yang biasa mereka beli.
Kelompok perokok pengguna elektronik, biasanya tidak mau disamakan dengan perokok biasa karena menganggap yang mereka hisap bukan asap melainkan uap.
Mereka mengklaim uap yang dihasilkan rokok elektronik lebih aman daripada asap rokok sehingga menentang pelarangan rokok elektronik karena alasan kesehatan.
Sementara itu, kelompok yang ketiga menganggap rokok biasa maupun rokok elektronik sama berbahayanya. Mereka membantah klaim bahwa rokok elektronik lebih aman daripada rokok biasa.
Apalagi, di Amerika Serikat sudah banyak terjadi kasus yang berkaitan dengan penggunaan rokok elektronik yang kebanyakan berhubungan dengan penyakit paru.
Baca juga: YPKP: Penggunaan tembakau alternatif bukan tanpa risiko
Baca juga: Pengamat : Informasi tembakau alternatif masih minim
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Apep Suhendar
Copyright © ANTARA 2020