Untuk itu menurut dia, pembahasan RUU Ciptaker tidak boleh dilakukan lewat "sistem kebut semalam" yaitu hanya tiga bulan, empat bulan, atau lima bulan.
"Kalau harus lima tahun, mengapa tidak, karena yang penting hasilnya maksimal melalui kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan undang-undang yang telah diatur UU Nomor 12/2011 dan perubahannya," kata dia, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: LSM pertanyakan urgensi pemerintah-DPR bahas Omnibus Law saat wabah
Ia menjelaskan RUU Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak UU sekaligus.
Menurut dia dalam RUU Ciptaker memang hanya ada 174 pasal namun secara subtansi RUU itu memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi.
"RUU Ciptaker mencakup banyak isu penting dan strategis yang perlu dikaji betul misalnya lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, dan penyederhanaan prosedur investasi. Meski tujuannya fokus untuk merampingkan regulasi bagi penciptaan kerja, tapi jangan sampai 'short-cut'-nya salah," ujarnya.
Baca juga: Dampak COVID-19, F-PPP perkirakan pembahasan "omnibus law" tersendat
Baca juga: Terkait COVID-19, DPR: Tak tutup kemungkinan tunda bahas "omnibus law"
Ia menilai RUU Ciptaker mensyaratkan sekitar 500 aturan turunan seperti peraturan pemerintah yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak.
Menurut dia, RUU itu harus dikaji secara benar, karena maksud penciptaan iklim investasi yang kondusif, jangan sampai justru mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
"Dan jangan sampai mengabaikan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, serta kepemilikan negara terhadap bumi, dan air dan kekayaan yg terkandung di dalamnya utk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat seperti amanat pasal 33 UUD 1945," katanya.
Baca juga: PPP: Masyarakat harus dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law
Ia mengatakan, memang tidak ada UU yang sempurna namun tugas konstitusional kita adalah memperhatikan semua hal secara menyeluruh dalam hal melakukan penyempurnaan untuk sebesar-besarnya memenangkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat banyak.
Karena itu dia menilai penyempurnaan aspek investasi, jangan malah mengorbankan aspek yang lain.
Baca juga: DPR enggan terburu-buru proses RUU Omnibus Law
"Apalagi RUU tersebut sangat tebal, dan juga kondisi sekarang ini ketika masyarakat bekerja dari rumah sehingga tentu agak menghambat jalannya perdebatan dan diskusi yg baik untuk penyempurnaan RUU," ujarnya.
Karena itu dia menilai kalau ingin RUU Ciptaker benar-benar pro-rakyat, pro-negara, dan pro-masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020