Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) tidak sepakat dengan usulan penghentian operasional kereta rel listrik (KRL) oleh sejumlah kepala daerah di Jabodetabek dalam upaya mitigasi COVID-19.Sebenarnya yang harus dihentikan adalah kegiatannya dan bukan transportasinya
"Sebenarnya yang harus dihentikan adalah kegiatannya dan bukan transportasinya," kata Kepala Bidang Advokasi MTI, Djoko Setijowarno, di Jakarta, Kamis sore.
Menurut Djoko, kapasitas angkut KRL pada jam sibuk dengan 'headway' setiap lima menit tercatat sekitar 17.000 penumpang di saat PSBB.
Jika ditutup, kata Djoko, bagaimana dengan nasib warga yang masih harus bekerja di Jakarta.
Baca juga: MTI sebut penghentian KRL perlu perhatikan nasib 7.000 pekerja
"Mau gunakan angkutan apa mereka? Apa ada yang mau siapkan kendaraan umum?," katanya.
Solusi yang bisa diterapkan selama masa mitigasi COVID-19 adalah menambah kereta dengan cara memperpendek 'headway' dan memperpanjang jam operasional mulai Jam 05.00 hingga 19.00 WIB.
"Sebab kapasitas tampung KRL (selama PSBB) hanya bisa menampung kurang dari 50 persen," ujarnya.
Djoko juga meminta pemerintah daerah di Jabodetabek untuk konsisten dengan kesepakatan saling mendukung pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca juga: KCI bahas usulan penghentian KRL di Jabodetabek selama PSBB
Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang efektif menekan aktivitas masyarakat di luar rumah.
"Kemudian pemprov, pemkot dan pemkab harus konsisten dengan keputusannya dan saling dukung, jangan seperti kemarin sudah diatur supaya orang antre di luar stasiun demi tercapainya jaga jarak fisik, ternyata gaduh termasuk para pejabatnya," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020