Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Rabu (15/4) mulai mencatat peningkatan jumlah pasien sembuh sebanyak 20 orang, menjadi total 446 orang, sedangkan pasien meninggal sebanyak 10 orang, menjadi 469 orang.Jadi mesti punya semangat
Laporan tersebut menjadi catatan awal peningkatan jumlah pasien sembuh dibandingkan pasien yang meninggal, meski angka totalnya masih di bawah angka pasien meninggal.
"Kita bersyukur semakin banyak yang sembuh," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto dalam sebuah konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, kala itu.
Di hari berikutnya, Kamis (16/4), laporan dari Gugus Tugas juga menunjukkan peningkatan signifikan jumlah pasien yang sembuh sebanyak 102 orang, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 27 kematian akibat wabah COVID-19 yang masih terus menjadi keprihatinan di Tanah Air.
Angka tersebut menjadi titik balik upaya keras semua pihak dalam melawan wabah COVID-19. Dengan total jumlah pasien sembuh sebanyak 548 orang, melampaui total pasien meninggal sebanyak 496 orang, ada harapan bahwa Indonesia secara perlahan akan dapat mengatasi wabah berbahaya itu.
Angka pasien sembuh nyatanya terus meroket dari hari ke hari, dengan sebanyak 59 orang dinyatakan sembuh, dibandingkan dengan 24 pasien meninggal pada Jumat (17/4).
Demikian juga dengan laporan peningkatan pasien sembuh pada Sabtu (18/4) dan Minggu (19/4) yang tercatat sebanyak 24 orang dan 55 orang masing-masing, menjadi total 686 orang, melesat jauh dari total kematian sebanyak 582 orang.
Total jumlah pasien sembuh itu tentunya diharapkan dapat terus meningkat, selain juga harapan bahwa angka kasus positif di Indonesia dapat semakin menurun.
Namun demikian, meski total pasien sembuh terus memberikan angin segar dalam penanganan wabah, total 582 kematian di Indonesia sejauh ini patut menjadi pukulan dan bahan evaluasi sehingga pengerahan upaya melawan virus berbahaya itu menjadi semakin terpadu dan matang.
Saat ini ilmuwan dan para ahli di seluruh dunia masih bergelut dengan waktu, berlomba-lomba menemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah penyebaran wabah COVID-19.
Meski telah ada beberapa obat yang digunakan sebagai alternatif, namun hingga kini belum ada obat yang dipatenkan untuk benar-benar menyembuhkan virus yang penyebarannya telah meluas hampir ke seluruh dunia itu.
Satu-satunya faktor yang mendorong kesembuhan seseorang dari virus mematikan tersebut adalah sistem kekebalan tubuh manusia itu sendiri.
Di balik kesembuhan para pasien COVID-19, selain pengobatan dan perawatan terbaik yang diberikan oleh para tenaga medis, sistem kekebalan tubuh, menurut sejumlah ahli, menjadi faktor kunci yang membebaskan seseorang dari belenggu ketidakberdayaan akibat paparan virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19.
Baca juga: Psikolog: Keluarga jenazah COVID-19 butuh dukungan dari warga
Meski pada sebagian kasus, seseorang yang terpapar COVID-19 tidak menunjukkan gejala dan hanya mengalami sakit ringan, namun pada sebagian lain, virus tersebut dapat menimbulkan gejala yang cukup berat, seperti yang dialami oleh Rico J Sihombing.
Pria berusia 54 tahun itu awalnya didiagnosis menderita demam berdarah. Namun, sepulang dari rumah sakit untuk pengobatan penyakit tersebut, Rico mendadak mengalami batuk hebat.
Setiap tarikan napas yang dia usahakan untuk memompa paru-paru dengan oksigen, ada desakan yang ia rasa semakin menghimpit rongga dadanya hingga terasa semakin sesak.
Semakin dalam ia bernapas, semakin sulit baginya untuk keluar dari himpitan yang dirasa semakin kuat.
Ia tak mengerti dengan keadaan yang sedang ia alami. Ia pun tak mengerti dengan keberadaan makhluk asing yang ia rasa semakin membanjiri paru-parunya.
Ia mengaku dirinya sebagai perokok. Namun, ia merasa batuk yang ia alami bukan akibat rokok. Meski menurut faktanya rokok dapat memperparah dampak yang ditimbulkan akibat paparan COVID-19.
"Saya kan perokok. Tapi kali ini saya merasa batuknya lain," katanya.
Selain sesak napas, ia juga mengalami demam panas hingga mencapai 39,3 derajat Celsius. Demam tersebut terus menerus naik turun, bahkan sampai setelah dia dirawat di rumah sakit.
Selain itu, ia juga menderita pegal-pegal yang luar biasa hebat. "Sampai pinggang itu rasanya mau patah," ujarnya.
Dengan bantuan istrinya, akhirnya dia dirawat kembali di rumah sakit karena gejala yang tak kunjung mereda.
"Di sana saya difoto toraks, kemudian dikonsultasikan ke dokter spesialis paru. Dokter spesialis paru melihat di paru-paru saya itu kayak berkabut, penuh ada bercak, ada peradangan, suspectnya pneumonia," katanya.
"Kemudian, datang dari dinas kesehatan untuk swab cairan dari hidung dan tenggorokan. Dua hari setelah itu, datang hasilnya, saya dinyatakan positif COVID-19. Lalu saya dijemput ambulans dan dipindahkan ke rumah sakit rujukan COVID-19," katanya lebih lanjut.
Selain Rico, petaka juga dialami Rilsan Malkhi. Pria berusia 26 tahun itu tak menyangka tubuhnya dibuat tak berdaya akibat paparan COVID-19.
Dari semua gejala yang ditulis dalam jurnal ilmiah maupun berita terkait gejala COVID-19, semua gejala itu ia alami.
Tidak hanya mengalami demam hingga mencapai 39,2 derajat Celsius, Rilsan pun mengalami batuk-batuk, diare, kehilangan indra perasa dan penciuman hingga sesak napas yang awalnya dia bantah dan baru dia sadari saat dirinya telah terbaring di ruang CICU (Cerebro Intensive Care Unit). Satu ruangan yang katanya dikhususkan bagi pasien COVID-19 dengan gejala paling kritis.
"Jadi gejalanya kalau dibilang sama dokter itu saya gejalanya paling lengkap. Dari semua jurnal yang ada, saya yang paling lengkap gejalanya," tutur Rilsan.
Baca juga: Dokter: Kecemasan akibat COVID-19 merupakan bentuk adaptasi normal
Dukungan keluarga
Meski pengobatan dan perawatan dari tenaga medis diakui Rico sangat membantu pemulihannya, tetapi dukungan semangat dari istri dan anaknya juga menjadi faktor penting lain yang turut mendorong kesembuhannya.
Tidak bisa dipungkiri, banyak pakar pun mengakui bahwa semangat hidup yang direfleksikan dengan selalu berpikir positif, tidak panik dan cemas dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh yang menjadi kunci utama pemulihan dari penyakit COVID-19.
"Jadi mesti punya semangat," ujarnya.
Untuk menyemangati diri, ia kerap berkomunikasi dengan keluarganya untuk bertanya kabar dan berbagi cerita selama dalam perawatan.
Selain itu, Rico juga mengupayakan segala upaya untuk memulihkan diri dengan memakan makanan apapun yang disediakan rumah sakit, minum banyak air mineral dan berolahraga ringan di dalam ruang perawatannya.
"Yang penting tetap semangat. Mau joget-joget di ruangan silakan saja. Mau senang-senang enggak ada masalah. Yang penting hati senang. Makanan di rumah sakit itu dimakan saja. Enak enggak enak disikat saja. Lalu banyak minum juga. Waktu di dalam (ruang perawatan) itu saya habiskan minuman bisa dua liter lebih," katanya.
Kemudian, selain dukungan keluarga yang mendorong semangatnya untuk sembuh, keyakinan bahwa ada campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam setiap kejadian juga memberinya semangat bahwa Tuhan akan menolongnya.
"Karena kita orang beragama, kita mesti percaya bahwa Tuhan turut memelihara kita. Saya percaya campur tangan Tuhan berjalan dalam hidup kita," tuturnya.
Demikian halnya dengan keyakinan yang dimiliki Rilsan. Ia yakin Tuhan akan memberikan pertolongan sehingga badai yang dihadapinya pasti akan berlalu. Usia muda tanpa penyakit penyerta tak menutup kemungkinannya terpapar COVID-19 dengan gejala cukup berat.
Meski demikian, ia tetap semangat sembuh berkat dukungan keluarga dan para tenaga medis yang merawatnya. Dukungan itu memberinya keyakinan bahwa dirinya mampu melawan penyakit yang telah mendera lebih dari dua juta orang di seluruh dunia.
Dukungan semangat itu ingin juga ia tularkan kepada pasien lain yang menurutnya belum mendapat kesempatan yang sama, sekembalinya dari rumah sakit.
"Karena saya meyakini kemampuan mental orang-orang beda-beda dalam menghadapi masalah. Dan (semangat) yang saya yakini ini sulit diterapkan kepada beberapa orang tua di CICU yang kondisinya kritis," katanya.
Baca juga: Psikolog: Berfikir sehat dan hindari kecemasan berandil melawan corona
Ia mengatakan selama berada di dalam CICU, ia dirawat bersama dengan pasien lain yang rata-rata usianya di atas 50 tahun. Dan di antara pasien-pasien tersebut, ia mengaku hanya dirinya yang memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan keluarganya di rumah dengan telepon genggam yang dibawanya.
Sadar bahwa dukungan keluarga dapat mendorong semangatnya untuk sembuh, ia menyadari bahwa pasien-pasien lain yang berusia lanjut dan tidak berkesempatan untuk berkomunikasi dengan keluarga juga perlu mendapat dukungan semangat.
"Kalau saya untungnya masih bisa ngomong sama teman ke sana ke sini (dengan menggunakan telepon genggam). Tapi kalau mereka saya lihat ada yang bisa dan ada yang enggak bisa. Ada yang diam dan terlihat semakin sedih," katanya.
Hal tersebut menginspirasinya untuk berencana menyediakan bantuan teknis yang akan memungkinkan pasien, yang tidak berkesempatan berkomunikasi, untuk bertatap muka dan berkomunikasi dengan keluarga mereka sehingga memacu semangat hidup mereka.
"Harapan saya (melalui rencana bantuan tersebut) adalah untuk membantu pasien-pasien COVID-19, khususnya untuk pasien yang sudah tua dan lansia. Mereka enggak bisa nikmatin suka cita sama sekali di ICU (karena keterbatasan alat komunikasi)," katanya.
Oleh karena itu, ia bersama dengan teman-temannya berencana menyediakan alat komunikasi berupa tablet sejumlah pasien yang ada di ICU agar mereka bisa berkomunikasi dan berbagi suka cita dengan keluarga mereka di rumah.
Rilsan dan teman-temannya juga tengah membuat konten siraman rohani yang dapat memberikan pencerahan bagi para pasien.
"Karena saya ingin apa yang bisa saya dapat, suka cita dengan cara berhubungan dan berkoneksi dengan keluarga, hal positif ini bisa didapat juga oleh pasien lain, terutama pasien yang sudah tua. Caranya dengan kita siapkan tablet sejumlah pasien yang ada di ICU sehingga mereka mendapat kesempatan yang sama untuk bisa menghubungi keluarga tanpa khawatir pulsa dan dengan dibantu dokter dan perawat," katanya.
Rencana bantuan tersebut, katanya, masih terus ia upayakan dan tidak menutup kemungkinan bantuan dari siapapun sehingga rencana tersebut dapat segera direalisasikan.
Dengan angka kesembuhan pasien yang diharapkan dapat terus bertambah melampaui jumlah pasien meninggal, dukungan dari keluarga dan semua pihak tentunya diharapkan bisa mendorong semangat bagi pasien COVID-19 untuk sembuh dari penyakit tersebut.
Dengan segenap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, tenaga medis, relawan dan seluruh masyarakat di Indonesia dan seluruh dunia, pandemi COVID-19 tersebut juga diharapkan dapat segera teratasi sehingga kehidupan dan roda perekonomian dapat kembali berjalan normal seperti sedia kala.
Baca juga: Menkes sebut kecemasan bisa pengaruhi imunitas tubuh
Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020