Mengembangkan kerangka kerja perlindungan pengungsi nasional dan regional akan memainkan peran penting dalam mengurangi ketidakpastian dan memungkinkan respons yang lebih efektif terhadap krisis di masa depan
Pusat Koordinasi Penyelamatan (RCC) atau lembaga serupa yang bisa bekerja sama dengan pihak berwenang negara-negara anggota ASEAN harus segera meluncurkan operasi pencarian dan penyelamatan warga Rohingya pencari suaka di Teluk Bengal dan Laut Andaman.
“Ini bukan hanya kewajiban moral tetapi juga tanggung jawab kemanusiaan dan hak asasi manusia,” kata Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum melalui keterangan tertulisnya, Minggu, yang dirilis guna menanggapi penolakan masuknya kapal pukat yang membawa Rohingya ke Bangladesh pada 23 April 2020.
Menurut Yuyun, ASEAN memiliki perangkat yang siap. Pada 2010, negara-negara anggota ASEAN telah berkomitmen untuk memastikan bantuan yang tepat waktu kepada orang-orang dan kapal-kapal yang berada dalam kesulitan di laut sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi ASEAN tentang Kerja Sama dalam Pencarian dan Penyelamatan Orang dan Kapal dalam Kesulitan di Laut.
Deklarasi ini juga menggarisbawahi pentingnya mengembangkan pendekatan regional terkoordinasi, termasuk mekanisme operasional dan sistem komunikasi untuk mempersiapkan dan memastikan respons yang cepat dan efektif untuk situasi marabahaya.
“Oleh karena itu, penting agar ASEAN dan negara-negara anggotanya mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memperkuat tanggung jawab bersama mereka untuk mengatasi pergerakan maritim para pengungsi dan pencari suaka di Teluk Bengal dan Laut Andaman,” tutur Yuyun.
Baca juga: Malaysia cegat perahu yang angkut 202 orang diduga Rohingya
Baca juga: Polisi Bangladesh tembak tujuh perampok yang diduga warga Rohingya
Agar hal ini terjadi, ia melanjutkan, ASEAN dapat membentuk dana kemanusiaan untuk membantu mereka yang tertekan di laut. Selain itu, hak untuk mencari suaka dijamin berdasarkan Pasal 16 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.
Pada masa pandemi COVID-19, menyelamatkan hidup, terutama mereka yang mencari bantuan, harus menjadi fokus dari tanggapan cepat ASEAN. Pada 23 April 2020, UNHCR telah menyatakan siap mendukung pemerintah untuk memfasilitasi prosedur pendaratan dan tindakan karantina untuk memastikan bahwa masalah kesehatan masyarakat ditangani.
“Saya mencatat bahwa Indonesia telah berulang kali menyatakan keprihatinannya terhadap nasib buruk Rohingya dan keinginan mereka untuk keterlibatan konstruktif melalui ASEAN untuk menyelesaikan krisis dan untuk menunjukkan jalan bagi masing-masing negara untuk memimpin respons regional yang lebih terkoordinasi,” kata Yuyun.
“Dan mari kita juga ingat bahwa dalam dua KTT berturut-turut sebelumnya pada 2018 dan 2019, kepala negara dan pemerintah ASEAN telah menegaskan kembali perlunya solusi yang komprehensif dan tahan lama untuk mengatasi akar penyebab krisis pengungsi, yang hanya dapat berhasil jika mereka merasa aman dan hak asasi manusia mereka dihormati, dilindungi dan dipenuhi,” ia melanjutkan.
Yuyun meminta ASEAN mengambil tindakan untuk menghentikan insiden ini dan mencegahnya terjadi lagi.
“Mengembangkan kerangka kerja perlindungan pengungsi nasional dan regional akan memainkan peran penting dalam mengurangi ketidakpastian dan memungkinkan respons yang lebih efektif terhadap krisis di masa depan,” ujar dia.
Pada 16 April 2020, otoritas maritim Malaysia menolak masuk perahu yang membawa sekitar 200 warga Rohingya yang melarikan diri karena takut tertular COVID-19.
Kemudian pada 23 April 2020, dua kapal Rohingya tersebut mencapai pantai Tenggara Bangladesh tetapi Menteri Luar Negeri AK Abdul Momen mengatakan bahwa Bangladesh tidak dapat lagi mengizinkan masuknya Rohingya.
Baca juga: Puluhan warga Rohingya tewas di atas perahu, 382 orang diselamatkan
Baca juga: Pengungsi etnis Rohingya bangun ruang isolasi antisipasi COVID-19
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020