"Kalau pemerintah tidak mampu mengelola krisis (akibat wabah COVID-19) barangkali muncul satu gejolak," katanya melalui sambungan telepon kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Sosiolog: Larangan mudik dan tekanan ekonomi bisa picu tindak kriminal
Ia mengakui koordinasi yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) dalam upaya membatasi virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19, sudah cukup baik, seperti menutup jalan, mensortir orang-orang yang datang dari satu kota ke kota lain dan ketentuan mencuci tangan, mengenakan alat pelindung diri, dan lain sebagainya.
Meski demikian, karena mudik sudah menjadi tradisi berpuluh-puluh tahun, larangan mudik akan sulit diterima oleh masyarakat. Ditambah lagi dengan tekanan ekonomi dan sosial, sehingga dengan berbagai cara, mereka akan mencoba mencari jalan alternatif untuk bisa sampai ke kampung halaman.
Untuk mengatasi kemungkinan tersebut, pemerintah harus memenuhi kebutuhan hidup mereka selama larangan mudik diberlakukan.
"Selama mereka tidak mampu mendapatkan atau membiayai diri sendiri dan keluarganya. Jadi makan dan minum, tempat tinggal, itu harus dipenuhi oleh pemerintah, karena memang mereka tidak memiliki pendapatan," katanya.
Baca juga: Pakar sebut larangan mudik tidak melanggar HAM
Baca juga: Ma'ruf Amin minta masyarakat taati larangan mudik
Selain ingin bersilaturahim dengan keluarga di kampung halaman, keinginan mudik bisa disebabkan oleh kebutuhan sehari-hari yang terus mendesak di tengah makin banyaknya pengangguran sebagai dampak wabah COVID-19.
Oleh karena itu, pemerintah perlu segera memberikan perlindungan dengan memenuhi kebutuhan makan dan minum serta tempat tinggal bagi orang-orang yang terkena dampak sebelum menimbulkan gejolak sosial baru.
Pewarta: Katriana
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020