Dr. Mark Denison, peneliti dari Vanderbilt University seperti dilansir The New York Times, belum lama ini mengatakan, remdesivir bisa menyelinap melewati sistem kuat virus untuk melindungi RNA, bahan genetik mereka. Remdesivir membuat rantai RNA virus--yang tumbuh-- berakhir sebelum waktunya, lalu membunuhnya.
Baca juga: Remdesivir disetujui sebagai obat pasien corona
Di sisi lain, para peneliti di University of North Carolina menemukan obat produksi Gilead Sciences Inc itu juga membunuh virus pada hewan yang terinfeksi.
Tetapi remdesivir gagal dalam sejumlah tes untuk hepatitis dan Ebola di Afrika. Obat itu akhirnya merana, tidak disetujui untuk digunakan, sampai akhirnya SARS CoV-2 muncul dan menjadi pandemi.
Banyak ilmuwan menyadari potensi remdesivir menjadi solusi melawan COVID-19 karena sudah melalui pengujian pada hewan dan uji keamanan pada manusia.
Dokter lalu mulai memberikannya kepada pasien dalam studi dan bahkan di luar studi sama sekali. Gilead mensponsori beberapa penelitian ini dan memberikan obat itu kepada pasien melalui dokter yang merawat mereka.
Bahkan, efek sederhana obat pada pasien rawat inap adalah kejutan, kata Dr. Arnold Monto, ahli epidemiologi di University of Michigan.
Pasien sakit parah, dan sering menderita bukan karena infeksi virusnya tetapi karena reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh. (Itulah sebabnya Tamiflu tidak bekerja dengan baik pada pasien flu yang parah).
Hanya saja, tidak semua orang yakin remdesivir ampuh 100 persen. Sebuah studi di China dalam jurnal Lancet, menemukan obat itu tidak memberikan manfaat bagi pasien yang sakit parah.
Terlepas dari ini, Gilead meningkatkan produksi dan saat ini memiliki 1,5 juta botol, cukup untuk sekitar 150.000 pasien.
Baca juga: Gilead tingkatkan pasokan remdesivir, obat darurat pasien COVID-19
Baca juga: Gilead gandeng mitra internasional genjot produksi obat remdesivir
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2020