"Pertama memang ada risiko reinfeksi, sudah sembuh dua kali negatif tapi kemudian tertular lagi. Kedua kita sebut false negative ini misalnya karena jumlah spesimennya atau jumlah virusnya tidak begitu banyak sehingga tidak terdeteksi PCR sehingga hasilnya negatif," kata Ketua Bidang Ilmiah dan Penelitian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
Jumlah virus atau viral load dari bahan yang diperiksa akan mempengaruhi hasilnya. Semakin sedikit virusnya dalam sebuah spesimen maka akan mempengaruhi hasil polymerase chain reaction (PCR).
Kemungkinan ketiga adalah reaktivasi yaitu seperti virus "tidur" di dalam tubuh seseorang karena mungkin daya tahan tubuhnya sudah ada perbaikan tapi kemudian aktif kembali.
Hasil tes PCR, kata dia juga dipengaruhi dengan spesimen pasien yang diperiksa. Spesimen yang diambil untuk PCR terkadang mempengaruhi tingkat akurasi.
Baca juga: Kurangi risiko penularan COVID-19 isolasi mandiri harus dilakukan
Dia mengatakan berdasarkan penelitian yang membandingkan spesimen dari pasien yang diduga terpapar COVID-19 ada beberapa jenis pemeriksaan yang memiliki akurasi lebih tinggi.
Pemeriksaan yang dibandingkan adalah bronkus, pharyngeal test atau tes swab faring, naso swab dan juga swab dari dahak.
"Memang kalau yang bilasan bronkus atau bilasan paru angka kepositifannya di atas 93 persen, tapi itu invasif," kata dia.
Pemeriksaan spesimen dengan bilasan bronkus hanya dilakukan untuk kondisi tertentu karena selain invasif untuk tubuh juga berisiko karena bisa aerosol dan terhirup oleh dokter.
Pemeriksaan tenggorokan tingkat akurasinya hanya 60 sampai 70 persen, sisa gap 30 persen itu yang memberikan kemungkinan false negative dari sebuah tes PCR, kata dia.
Sebelumnya, ajudan Wakil Gubernur Sumatera Utara dinyatakan kembali terinfeksi COVID-19 setelah beberapa waktu dinyatakan sembuh. Dia kini sudah kembali dirawat di RS Martha Friska Medan.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020