Pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus serius dicegah karena dapat menimbulkan beban ganda bagi masyarakat di tengah pandemi COVID-19.
"Jadi saya sedih sekali kalau ternyata beberapa wilayah itu akan dapat beban ganda. Jadi penyelesaiannya harus spesifik, lokal, tidak mungkin teman-teman atau pemerintah pusat di Jakarta itu bisa mengatakan dengan suatu solusi," kata Pandu berbicara dalam webminar Antisipasi Dampak Kebakaran Hutan, Kabut Asap dan COVID-19 di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan dampak karhutla bagi kesehatan publik adanya peningkatan kejadian penyakit paru yakni tuberkulosis (TB).
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Pekanbaru, Riau, peningkatan indeks NO2 saat terjadi karhutla lebih berisiko untuk meningkatkan TB dibanding peningkatan material partikulat lebih kecil dari 10 mikron (PM10) dan SO2.
Sebelumnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health mengonfirmasi hubungan antara peningkatan konsentrasi PM dan tingkat kematian karena COVID-19.
Karenanya, ia menegaskan karhutla perlu dicegah mengingat dampak pandemi COVID-19 diperkirakan dapat berlangsung lama mencapai dua hingga tiga tahun.
Baca juga: Daya lenting masyarakat penting hadapi COVID-19 dan Karhutla
Baca juga: Risiko COVID-19, Greenpeace minta safe house karhutla segera disiapkan
Sementara itu, pakar forensik karhutla Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Bambang Hero Saharjo mengatakan karhutla Indonesia di 2019 mencapai 1,64 juta hektare (ha).
Meski sedikit lebih kecil dibandingkan luasan karhutla di 2018 namun emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mendekati angka saat karhutla besar terjadi di 2015.
"Jadi itu tunjukkan kita perlu berhati-hati. Pertanyaannya bagaimana di 2020, mengingat peningkatan karhutla di 2019 tersebut hanya terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua bulan di Agustus hingga pertengahan September," ujar dia.
Pemerintah perlu sepenuh hati meminta semua pihak untuk memelihara gambut, membuat sekat kanal, memastikan level muka tanah di sana tidak lebih dalam dari 0,4 meter sehingga gambut terbasahi.
"Karena mereka tidak terlalu ambil pusing, ahkhirnya seperti ini," kata Prof Bambang.
Ia mengingatkan saat ini sudah akan memasuki musim kemarau, karenanya perlu memonitor level muka air lahan gambut hampir setiap hari.
"Di Riau, 1 Januari itu sudah ada yang terbakar. Jadi tidak perlu menunggu sampai benar-benar kemarau untuk penanganannya, karena tanggal 26 April pun di Rupat sudah ada kebakaran juga. Jadi, jangan pikir karena COVID-19, orang berhenti bakar, tidak. Dia tetap menjalankan aksinya," ujar Prof Bambang.
Baca juga: Pencetakan sawah baru di Kalteng dapat picu masalah lingkungan hidup
Baca juga: Cegah COVID-19 di daerah rawan karhutla, Gubes UI: Gunakan masker N95
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020