Tentang gelombang kedua serangan virus corona

13 Mei 2020 19:21 WIB
Tentang gelombang kedua serangan virus corona
Orang-orang bermasker berjalan di pantai La Baule ketika Prancis mengendurkan lockdown pandemi penyakit virus corona (COVID-19) di Prancis pada 13 Mei 2020. (REUTERS/STEPHANE MAHE)
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani meminta pemerintah Indonesia berhati-hati sebelum melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Puan menunjuk alasan masih fluktuatifnya data dan angka perkembangan pasien positif COVID-19, selain juga minimnya tes massal di Indonesia.

Puan bukannya skeptis karena jika dilihat dari spektrum lebih luas lagi memang banyak kalangan dan pakar kesehatan di dunia menginginkan tak buru-buru merelaksasi aturan pembatasan dalam membendung penyebaran virus corona penyebab penyakit COVID-19 itu.

Mengapa demikian? Karena ada bukti yang muncul kemudian bahwa pandemi balik lagi bahkan saat grafik infeksi penyakit ini melandai.

Tanpa vaksin dan kekebalan skala luas, wabah muncul kembali. Inilah konsensus di kalangan pakar-pakar kesehatan di dunia.

Apa yang terjadi di Jerman, Singapura, Korea Selatan dan China belakangan ini ketika kasus-kasus baru muncul hanya beberapa saat setelah relaksasi aturan pembatasan terkait virus corona, memperkuat asumsi itu.

Pertengahan April lalu, muncul 1.400-an kasus baru di berbagai asrama pekerja asing di Singapura. Kemudian, Institut Robert Koch di Jerman menyebut tingkat reproduksi pandemi virus corona di negeri ini masih di atas 1 yang tepatnya pada 1,07. Tingkat reproduksi di atas 1 mengartikan tingkat penularan sebuah penyakit menular masih sangat tinggi.

Baca juga: Mencuatnya diskursus gelombang kedua pandemi COVID-19

Baca juga: Gelombang kedua COVID-19 terjadi di kota suci Touba, Senegal


Korea Selatan yang mengendurkan lockdown mencatat 35 kasus baru yang merupakan tertinggi sejak 9 April dan ini tercipta begitu pemerintah merelaksasi aturan yang membuat orang berkerumun kembali, salah satunya di klub malam Seoul. Setelah ini, Korea Selatan segara menutup 2.100 bar dan tempat hiburan malam di Seoul.

Di China yang berhasil menjinakkan COVID-19 di episentrum pertama pandemi, Wuhan, wabah kini melintas ke utara negeri ini di kota Harbin di dekat perbatasan Rusia-China.

Apa yang terjadi di Singapura, Korea Selatan dan China itu menunjukkan dunia belum bisa berpuas diri dengan cepat menyatakan virus terjinakkan hanya karena melihat grafik melandai, apalagi masih fluktuatif seperti di Indonesia di mana aturan pencegahan penularan penyakit ini disebut-sebut sangat longgar.

Di Singapura dan Korea Selatan, sebagian besar kasus baru ini muncul dari penular yang tak terdata atau terjangkau tes, padahal tes COVID-19 di dua negara itu jauh lebih masif dibandingkan dengan Indonesia.

Fakta seperti ini membuat sejumlah pemimpin dunia tak mau gegabah merelaksasi pembatasan bergerak rakyatnya. Salah satunya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang nyawanya nyaris direnggut COVID-19 yang Minggu pekan lalu mengisyaratkan tak mau cepat-cepat merelaksasi lockdown.

Virus ini sama sekali belum ditundukkan, sebaliknya lockdown dan sejenisnya, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar, tak menciptakan imunitas massal yang menjadi satu-satunya intervensi oleh manusia yang paling ampuh dalam menghentikan pandemi.

Jauh berbahaya

Para pakar khawatir jika saat ini terlalu cepat dilonggarkan, maka manusia tak diingatkan untuk terus waspada sampai vaksin tersedia di rumah sakit.

Berulang kali pakar-pakar kesehatan, termasuk di Indonesia, mengungkapkan kekhawatiran bahwa relaksasi membuat manusia lengah menghadapi masa yang diprediksi lebih mengerikan ketika dunia memasuki musim gugur dan musim dingin kembali. Inilah masa ketika terjadi apa yang disebut gelombang kedua serangan virus.

Baca juga: Khawatir gelombang kedua, Lebanon perpanjang karantina wilayah

Baca juga: PM Hongaria peringatkan ancaman gelombang kedua corona pada Oktober


Bahkan sejumlah negara yang berhasil mengendalikan COVID-19 dengan lockdown sangat keras seperti Australia dan Selandia Baru pun sudah bersiap menghadapinya.

Ini karena, mengutip Direktur Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) Robert Redfield, gelombang kedua akan jauh lebih berbahaya dan lebih sulit dihadapi ketimbang yang saat ini terjadi.

Mengapa begitu? Karena gelombang kedua berbarengan dengan musim flu di seluruh dunia. "Kita akan menghadapi epidemi flu dan epidemi virus corona pada waktu bersamaan," kata Redfield kepada Washington Post.

Pandemi yang semuanya menciptakan penderitaan dan maut, sudah tercatat sejak zaman Yunani kuno.

Yang paling sering disebut adalah pandemi flu Spanyol di Eropa pada musim semi 1918. Pandemi ini lalu menciptakan gelombang kedua yang lebih dahsyat pada musim gugur dan musim dingin tahun itu. Lebih dari 50 juta nyawa melayang gara-gara pandemi ini.

Pandemi flu 1957 dan 1968 juga berlangsung dalam beberapa gelombang. Gelombang kedua juga terjadi saat pandemi influenza H1N1 terjadi pada 2009 yang juga terjadi menjelang musim dingin atau setelah musim kemarau di negara tropis.

Dari catatan masa yang sudah lewat itu, para ilmuwan yakin bakal ada gelombang kedua yang mungkin terjadi setelah musim panas atau musim kemarau tahun ini.

Oleh karena itu, cepat-cepat menganggap lockdown dan pembatasan sosial efektif menurunkan laju infeksi dan kematian terkait COVID-19 untuk kemudian menyimpulkan virus telah sirna, adalah asumsi yang gegabah.

"Virus ini tak akan hilang sampai vaksin ditemukan," kata pakar penyakit menular Amesh A. Adalja dari Johns Hopkins Center for Health Security di Maryland kepada majalah Health.

Baca juga: Riset vaksin COVID-19 jadi fokus utama program kerja sama EU dan ASEAN

Baca juga: Inggris dukung dan pastikan ketersediaan vaksin COVID-19 untuk dunia


Sampai adanya vaksin, orang semestinya bisa mengendalikan keinginan untuk segera mengendurkan aturan jaga jarak sosial atau membiarkan kerumunan-kerumunan manusia tercipta. Ini mengingat di antara kita ada yang berpotensi menjadi pembawa penularan atau carrier yang belum terdeteksi tes, apalagi di negara yang tes COVID-19-nya minim sekali.

Untuk itu relaksasi yang nantinya menjadi pintu bagi terciptanya kerumunan manusia ketika carrier-carrier tak terdeteksi juga masuk kerumunan, adalah sama saja dengan memicu gelombang baru serangan virus corona.

198 kali

Tanpa disiplin berjaga jarak sosial dan tes COVID-19 yang berkualitas, mengendurkan pembatasan hanya akan meningkatkan risiko terpaparnya mereka yang tak memiliki imunitas dari mereka yang sudah terinfeksi, khususnya yang tidak menunjukkan gejala.

Negara memang tak bisa terus menerapkan pembatasan terlalu lama karena ongkos ekonomi dan sosial-politiknya teramat mahal.

"Namun warga harus terus mengikuti ketat jaga jarak sosial sampai herd immunity (kekebalan bersama) dari COVID-19 lewat imunisasi massal, tercipta," kata Urvish Patel, dokter spesialis neurologi pada Rumah Sakit Mount Sinai, New York. "Dan ini belum akan terjadi enam hingga 12 bulan ke depan."

Di beberapa tempat dengan temperatur lebih lembab dan panas seperti sebagian besar Asia Tenggara termasuk Indonesia, virus sepertinya memang mengendur fatalitasnya.

Tetapi itu tak boleh membuat manusia lengah, apalagi beberapa penelitian termutakhir menunjukkan virus corona baru atau SARS-CoV-2 ini terus bermutasi untuk menyesuaikan diri dengan inangnya, entah di daerah tropis ataupun subtropis.

Baca juga: Ahli: Virus Corona lebih lambat bermutasi dibanding virus influenza

Baca juga: Virus Corona Indonesia berbeda dengan tiga tipe utama dunia


Penelitian UCL Genetics Institute yang diterbitkan jurnal Infection, Genetics and Evolution, menyebutkan bahwa berdasarkan analisis genom virus SARS-CoV-2 dari sekitar 7.500 pasien terinfeksi virus ini di seluruh dunia muncul 198 mutasi lebih dari satu kali yang menunjukkan virus corona baru ini terus beradaptasi.

"Mutasi itu sendiri bukan hal buruk dan belum diketahui apakah SARS-CoV-2 bermutasi lebih cepat atau lebih lambat dari perkiraan. Sejauh ini kami tak bisa mengatakan apakah SARS-CoV-2 menjadi lebih berbahaya dan menular atau tidak," kata salah seorang ilmuwan dalam penelitian ini, Professor Francois Balloux, dalam Science Daily.

Bahkan petunjuk in bisa menciptakan tantangan baru dalam mencari obat dan vaksin yang efektif juga terhadap virus yang sudah bermutasi, sampai-sampai Ballox mengatakan "Kita perlu mengembangkan obat dan vaksin yang tak mudah dikelabui virus ini."

Ujungnya, pembatasan sosial apapun tak bisa dilonggarkan secara drastis ketika belum terbentuk kebiasaan-kebiasaan mulai dari mengadakan tes massal sampai tercipta kesadaran karantina mandiri ketika positif terjangkit, dan sebelum protokol kesehatan konsisten diterapkan secara ketat oleh pihak berwenang.

Urvish Patel di New York itu, seperti juga banyak dokter di Indonesia, menyatakan perlu adanya kebiasaan berjaga-jaga di mana pun, misalnya membiasakan kantor-kantor, pabrik-pabrik dan sejenisnya reguler melakukan uji medis dan skrining karyawan.

Selain itu, sampai kebiasaan seperti itu terbentuk, masyarakat harus terus diingatkan bahwa saat berada di tempat umum mereka harus membiasakan diri cuci tangan, tak menyentuh wajah, membersihkan permukaan apapun yang disentuhnya dan mengenakan masker serta sarung tangan, selain tetap mempraktikkan jaga jarak sosial.

Pemeriksaan orang-orang tak bergejala juga harus intensif, khususnya demi melindungi dokter, perawat dan pekerja kesehatan lainnya terinfeksi virus ini, karena mereka adalah kekuatan garis depan yang bisa mencegah penyakit ini merenggut nyawa manusia.

Lebih dalam lagi, perlu memperkuat sistem rumah sakit dalam memperlakukan pasien tanpa gejala, guna memastikan tingkat kematian tetap minimal dan wabah tetap bisa dikendalikan, sampai obat atau vaksin tersedia untuk semua orang.

Baca juga: Jamur Cordyceps berpotensi lawan corona, bersiap diuji klinis

Baca juga: Obat herbal anticorona disalurkan ke Wisma Atlet

Baca juga: Obat malaria kembali gagal tunjukkan manfaat obati virus corona

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020