Sejumlah organisasi non-pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Bersihkan Indonesia mempertimbangkan uji materi Undang-undang (UU) Minerba yang baru disahkan DPR RI.
“Kita masih akan menimbang. Perilaku negaranya enggak peduli hukum sama sekali soalnya,” kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Membedah isi revisi UU Minerba yang banyak berubah
Pertimbangan itu, menurut dia, dilakukan mengingat pasal-pasal dari 29 UU yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pun ternyata "dihidupkan lagi" di draft “omnibus law”.
“Iya, soal-soal begini yang buat kita menimbang lebih matang,” kata Wahyu membahas soal rencana pengajuan uji materi UU Minerba ke MK.
Sebelumnya, peneliti Auriga Nusantara Iqbal Damanik mengatakan pengesahan RUU Minerba oleh DPR pada Selasa (12/5), menambah panjang masa ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam.
Menurut dia, pengesahan itu memperlihatkan cara pandang yang eksploitatif. Salah satunya adalah dengan ditambahkannya pasal 169 A yang menyebutkan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun.
Untuk diketahui bahwa terdapat 7 Perusahaan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang akan berakhir kontraknya kurang dari lima tahun lagi.
Baca juga: Komisi VII sepakat lanjutkan UU Minerba ke tingkat II
Baca juga: Warga Kaltim galang petisi pertahankan pasal UU Minerba
“Fokus Pemerintah pada penyelamatan pebisnis batubara ini, sangat disayangkan melalui perubahan undang-undang. Pemerintah harusnya memaksa para pemegang kontrak atau perjanjian ini untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajibannya tidak serta merta menjamin perpanjangan. Kewajiban tersebut salah satunya adalah menutup lubang-lubang tambang yang disebabkan aktivitas pertambangan, total luas lubang tambang itu lebih dari 87 ribu hektare, atau setara dengan luas Jakarta digabungkan dengan Kota Bandung,” ujar dia.
Sebelumnya, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan UU Minerba yang baru disahkan itu tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh dan lingkungan hidup di lapangan.
Pengesahan UU tersebut dilakukan tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi. Ia menyebut pembahasan revisi RUU Minerba lahir dari titipan oligarki batubara pada politisi Senayan beserta parpol masing-masing sebagai akibat dari bentang politik di Indonesia yang dicengkeram oleh oligarki.
Baca juga: Kementerian ESDM: Perusahaan wajib sediakan biaya eksplorasi minerba
Baca juga: Revisi UU Minerba diharapkan bisa atur soal "mineral fund"
“RUU ini justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batubara, sementara partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya,” katanya.
Pembicaraan dalam sidang hanya seputar birokrasi perizinan, investasi dan divestasi saham. Sementara keselamatan rakyat korban tambang, ancaman kesehatan akibat tambang dan batubara hingga masalah polusi dan pencemaran lingkungan hidup diabaikan, ujar dia.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020