Tepat tujuh tahun lalu, suasana Stadion Haji Agus Salim, Padang, terlihat tegang hingga menit ke-90, tak ada raut keceriaan dari tiap sudut stadion yang penuh sesak.
Pada babak 16 besar itu, Esteban Vizscarra dan kawan-kawan kedatangan tamu asal Vietnam SHB Da Nang guna memperebutkan satu tiket ke babak perempat final.
Setengah jam babak pertama, Semen Padang tertinggal lebih dulu lewat sepakan pemain Da Nang, Merlo, yang mengelabui kiper Fakrurrozi, sebelum Edward Wilson Junior menyamakan kedudukan lewat titik putih pada menit akhir babak pertama.
Pada babak kedua, pelatih Jafri Sastra tak ingin melepaskan impian begitu saja. Strategi yang mandeg pada babak pertama diubah dengan memasukkan pemain yang bisa melakukan transisi dengan cepat. Seperti memasukkan Nur Iskandar.
Apa yang dilakukan Jafri memang berjalan sesuai rencana, Kabau Sirah yang dimotori Esteban Vizscarra tak memberikan nafas bagi Da Nang guna melakukan serangan balik.
Baca juga: Trump pernah berambisi saingi Tour de France tapi tak kesampaian
Pada menit ke-80, ribuan penonton yang memadati Stadion Haji Agus Salim sempat bersorak riang, setelah tendangan Titus Bonai bersarang di gawang Than Binh. Namun, hakim garis mengangkat bendera karena tendangan itu mengenai kepala Esteban Viscara yang sudah berada di posisi offside. Gol pun dianulir wasit asal Jepang, Ryji Sato.
10 menit akhir ini menjadi momentum Da Nang, mereka berbalik mengurung pertahanan Semen Padang. Namun kejelian Novan Setya dan kawan-kawan tak terbawa arus permainan Da Nang yang mengincar penalti. Lini pertahanan mereka lebih sabar.
Memasuki menit ke-91, serangan balik cepat dari sisi kiri lewat Hengki Ardilles berhasil dimanfaatkan Vendry Mofu untuk membawa Semen Padang lolos ke perempatfinal.
Prestasi ini menyamai prestasi yang diukir Arema dan Persipura Jayapura pada musim 2010-2011. Pencapaian ini juga seperti mengulang memori 20 tahun silam saat Kabau Sirah mencapai perempatfinal Piala Winners Asia 1993.
Baca juga: 70 tahun silam di Silverstone, perjalanan panjang Formula 1 dimulai
Tuah IPL
Semen Padang saat itu menjadi satu-satunya tim yang tak tertandingi dalam gelaran Liga Primer Indonesia (LPI). Liga yang berawal sebagai kompetisi tandingan akibat carut marut pesepakbolaan Indonesia pada era kepemimpinan Nurdin Halid.
Prestasi yang jeblok sampai mencuatnya kasus korupsi dan mafia bola di tubuh PSSI, membuat sejumlah pegiat sepak bola tergugah membuat kompetisi yang dianggap lebih baik dan tanpa menggunakan APBD.
Pengusaha Arifin Panigoro kemudian mencetuskan Liga Primer Indonesia (LPI) sebagai liga sempalan (Breakaway) pada 2011. Kehadiran LPI berbuntut panjang ketika sejumlah klub dihadapkan kepada dualisme kepengurusan dan saling mengklaim sah.
Arema, Persebaya, dan Persija menjadi tiga klub era galatama yang mengalami dualisme. Masing-masing dari mereka ngotot mengikuti Indonesia Super League (ISL) dan satu pihak lainnya mengikuti IPL.
Baca juga: Hari ini Knicks juara NBA, lantas berpuasa hampir lima dasawarsa
Selain dianggap bebas dari uang rakyat, IPL juga menandai penamaan sejumlah klub yang tak menyelipkan nama "Persatuan Sepak Bola (Pers-)" yang identik dengan klub-klub tua.
Para pemilik klub mencetuskan nama yang agak modern semisal Bali Dewata, Tangerang Wolves, Medan Chiefs, Real Mataram, sampai Batavia Unions. Namun tentu kualitas mereka layaknya tim-tim amatiran.
Selepas Djohar Arifin Husein mengambil tampuk kekuasaan PSSI pada 2011, akhirnya mereka sepakat menjadikan IPL sebagai kompetisi resmi di bawah naungan PSSI. Sementara ISL justru menjadi kompetisi sempalan yang dimotori gerbong Nurdin Halid.
Namun klub-klub Galatama memilih tetap bertanding di ISL meski bayang-bayang sanksi menghantui mereka. Level lebih kompetitif menjadi bahan pertimbangan klub tua memilih ISL ketimbang IPL.
Alhasil, Semen Padang yang tak menemui lawan sepadan berhasil mengunci juara LPI 2011/2012 dan berhak mewakili Indonesia ke Piala AFC bersama Persibo Bojonegoro.
Baca juga: FC Magdeburg, secuil kisah sukses sepak bola Jerman Timur
Kian Kritis
Liga Prima hanya bertahan dua tahun, tepatnya pada musim 2013. Bahkan saat itu tidak ada yang dinobatkan sebagai juara. Berhentinya kompetisi di bawah pengelolaan PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) di tengah jalan, menjadi penyebabnya.
Pada musim 2014, PSSI mengembalikan ISL sebagai liga resmi setelah IPL dibubarkan. Semen Padang saat itu mampu melaju hingga babak delapan besar ketika kompetisi dibagi dalam dua wilayah.
Akan tetapi langkah mereka terhenti setelah menempati posisi ketiga Grup A dalam fase grup 8 besar. Usai musim 2014 itu, eksistensi Semen Padang bak ditelan bumi.
Selepas musim itu, permainan mereka semakin kritis. Musim 2016 kala bertajuk Indonesia Soccer Championship, Kabau Sirah hanya menempati posisi delapan klasemen akhir. Nasib tragis terjadi pada musim 2017 saat kompetisi berformat Liga 1 Indonesia, mereka harus terdegradasi ke Liga 2.
Baca juga: Tiga gol Thierry Henry jadi salam perpisahan Arsenal dengan Highbury
Sempat kembali promosi ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia, Semen Padang justru harus lagi-lagi terdegradasi pada musim 2019. Inkonsistensi Semen Padang pun melahirkan anekdot bahwa mereka tak perlu juara Liga 1, untuk bisa perkasa di level di bawahnya.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2020