Sejumlah rekomendasi KPK terkait persoalan BPJS Kesehatan ini di antaranya agar Kementerian Kesehatan menyusun Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) yang hingga Juli 2019 lalu baru 32 PNPK dari target sejak 2015 sebanyak 80 PNPK.
"Dalam kajian KPK ketiadaan mengakibatkan pengobatan yang tidak perlu (unnecessary treatment)," sebut Okky dalam keterangan tertulis, Jumat.
Selain itu, tambah Okky, rekomendasi KPK lainnya agar Kementerian Kesehatan memberi pilihan untuk pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik yakni penyakit akibat gaya hidup.
Baca juga: Fraksi NasDem minta pemerintah kaji ulang kenaikan iuran BPJS
Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan naik, KPK berharap pemerintah tinjau kembali
Baca juga: Jamkeswatch-KSPI serukan kembali gugat kenaikan iuran BPJS Kesehatan
KPK menyebutkan, jika terdapat pembatasan manfaat untuk jenis penyakit ini dapat mengurangi potensi pengobatan yang tidak perlu sebesar 5-10 persen.
"Jadi, banyak opsi yang bisa dilakukan Kemenkes dan BPJS Kesehatan selain menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ini persoalan mau atau tidak," tandas Okky.
Okky Asokawati menilai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tidak sepaham dengan spirit yang terkandung dalam pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres Nomor 75 tahun 2019 terdahulu.
Baca juga: BPJS Naik, Suhendra: Jangan pojokkan Jokowi
Baca juga: Bamsoet minta pemerintah kaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS
Okky mengingatkan salah satu pertimbangan hakim MA dalam putusan atas pembatalan norma di Perpres 75/2019 karena terdapat kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warga serta kemampuan warga negara yang tidak meningkat.
Okky menilai Perpres 64/2020 tersebut besar kemungkinan akan bernasib sama dengan Perpres 75/2019 karena bermasalah dari sisi materiil peraturan perundang-undangan.
Menurut dia, materi yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020 secara substansial pun tidak jauh berbeda dengan Perpres 75 tahun 2019.
"Secara substansial, materi Perpes 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perrpes 75/2019 yang telah dibatalkan MA. Jadi, besar kemungkinan Perpes 64/2020 akan dibatalkan MA," kata Okky.
Menurut dia, perbedaan Perpres 64/2020 dengan Perpres 75/2020 hanya menunda kenaikan pembayaran khususnya di kelas III pada awal tahun 2021.
Padahal, kata Okky, MA dalam putusannya membatalkan norma di Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres 75/2019.
"Nah, di Pasal 34 ayat (1) Perpres 64/2020 hakikatnya sama dengan norma yang dibatalkan oleh MA. Norma saat ini hanya menunda kenaikan kelas III hingga awal tahun 2021. Adapun kelas II dan kelas III hanya dikurangi Rp 10.000 dari rencana sesuai Perpres 75/2019 dan efektif pada awal Juli mendatang," ujar Ketua DPP NasDem bidang kesehatan itu.
Anggota Komisi IX DPR periode 2014-2019 itu menyebutkan, secara objektif, kondisi masyarakat saat ini semakin sulit akibat dampak pandemi COVID-19.
Situasi tersebut, kata Okky, juga diamini pemerintah dengan program jaring pengaman sosial (social safety net).
"Saat ini kondisi ekonomi masyarakat justru makin parah dibanding saat MA membatalkan Perpres 75/2019 pada 27 Februari 2020 lalu, di mana Indonesia belum terdampak COVID-19," ujar Okky.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020