Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM Yogyakarta Hempri Suyatna menilai perlunya dilakukan validasi serta pembaruan data penerima bantuan sosial (bansos) dengan mempertimbangkan indikator warga yang benar-benar terdampak COVID-19.Muncul aktor-aktor ekonomi dan politik yang ingin memperoleh keuntungan dari program-program tersebut. Banyak bantuan sosial bersumber dari anggaran pemerintah tapi ditempeli jargon-jargon kepala daerah
"Di tingkat daerah proses pendataan masih belum valid. Banyak di antaranya masih salah sasaran. Misalnya, warga meninggal masih terdata, penduduk yang tidak memiliki NIK terdata, warga mampu terdata, dan sebagainya," kata dia melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, akibat masih adanya pendataan yang tidak valid banyak warga yang protes karena tidak mendapatkan bantuan sosial padahal memang dalam kondisi kesulitan ekonomi.
Selain pembaruan data, Hempri berharap, adanya perbaikan tata kelola dan pengawasan program-program dari pemerintah tersebut.
Jika ada program yang tidak efektif, menurut dia, lebih baik dananya dialokasikan untuk yang lain.
Baca juga: Cegah politisasi bansos COVID-19, Perludem: Kemendagri buat aturan
Sebagai contoh, ia merujuk Kartu Praprakerja yang beberapa program pelatihannya dinilai tidak efektif, seperti pelatihan memancing dan pelatihan menjadi youtuber pemula.
"Lebih baik dana Rp5,6 triliun dari program itu disalurkan untuk ke program bansos melihat banyak warga terdampak yang belum menerima bantuan," kata dia.
Selain itu, Hempri menilai alur birokrasi juga menjadi masalah tersendiri dalam pendistribusian bansos.
Menurut dia, sinkronisasi antarpemangku kepentingan masih lemah.
"Berbagai kementerian bergerak masing-masing dalam situasi ini. Beberapa program bantuan yang diberikan pemerintah, seperti Kartu Prakerja, BLT, Jaminan Hidup, serta program alokasi desa ditanggung oleh induk kementerian yang berbeda-beda," kata dia.
Tumpang tindih itu, kata dia, menyebabkan banyak terjadinya kasus satu orang menerima hampir semua bantuan tersebut, sementara yang lain bahkan tidak menerima sama sekali.
Di beberapa daerah, menurut dia, bahkan terjadi politisasi oleh oknum tertentu dalam penyaluran bansos.
"Muncul aktor-aktor ekonomi dan politik yang ingin memperoleh keuntungan dari program-program tersebut. Banyak bantuan sosial bersumber dari anggaran pemerintah tapi ditempeli jargon-jargon kepala daerah," kata dia.
Baca juga: Kemenkeu: Lebih baik duplikasi bansos daripada ada yang tidak terima
Baca juga: Bamsoet beri 200 paket bansos bagi sopir angkutan umum di DKI Jakarta
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020